Orangtua Outsourcing?
Sungguh unik mengamati bagaimana orangtua
jaman sekarang mendidik anaknya. Banyak
biaya, waktu, dan tenaga yang dicurahkan untuk
perkembangan optimal sang buah hati. Sekolah, yang menjadi salah satu partner penting dalam pendidikan anak,
kini dirasakan tidak memenuhi kebutuhan lagi. Sebagian orangtua
mengikutsertakan anaknya pada berbagai kegiatan les ini dan itu.
Tingginya kebutuhan terhadap pendidikan
tambahan bagi anak, direspon oleh pelaku usaha dengan menawarkan berbagai les.
Beberapa di antaranya: les bidang studi, les berenang, les sempoa, les musik
(ini bisa lebih spesifik, seperti les piano, les gitar,
dan les drum), les vokal, les melukis, olahraga (sepak bola,
pencak silat), hingga les bahasa asing. Daftar panjang ini
masih bisa Anda tambahkan lagi, karena di sini berlaku hukum ekonomi: di mana
ada permintaan, di situ ada penawaran.
Sepintas, les-les di atas adalah wujud
kecintaan orangtua pada anak yang mengharapkan dapat mengeksplorasi semua
potensi anaknya. Mereka rela merogoh kocek
dalam-dalam demi “masa depan” anak. Mereka mau bersusah payah hilir mudik untuk
mengantar jemput anak-anak mereka ke dan dari tempat les.
Di sisi lain, fenomena ini sering memunculkan
kegalauan bagi orangtua lain yang tidak mengikutsertakan anak mereka dalam
kegiatan les. Mereka menjadi tidak percaya diri. Bagaimana “nasib” anak saya
kelak “di era kompetisi yang ketat” ini? Apakah ini berarti anak saya akan
tersisih?
Jawannya, belum tentu! Ada beberapa
alasan yang mendasari jawaban ini.
Pertama,
tidak
dapat dipungkiri bahwa sebagian les yang diikuti anak sebenarnya merupakan
tindakan escape orangtua supaya bisa lebih
santai. Kadang muncul dalih, “Pelajaran SD jaman
sekarang sudah sulit. Beda dengan waktu saya kecil dulu. Saya sudah tidak bisa
mengajari anak saya lagi.” Benarkah kita tidak bisa? Jangan-jangan sebenarnya
kita bisa, tetapi terlalu lelah atau malas untuk mengajari anak-anak. Kita
bosan dengan pertanyaan-pertanyaan anak. Kita malas menjelaskan karena kadang
anak tidak kunjung paham. “Ah, lebih
baik outsourcing ke lembaga les.
Tinggal bayar sekian, beres.”
Kedua, ada kalanya, les tersebut diikuti
bukan karena kemauan anak, melainkan ambisi orangtua. Ada yang berambisi agar
anaknya “rangking satu” atau agar menjadi “bintang”. Untuk alasan seperti ini, tentu les hanya
menjadi pemborosan saja. Tidak jarang keikusertaan dalam sebuah les juga menjadi
simbol gengsi orangtua (Apalagi kalau nama lembaga lesnya menggunakan bahasa
Inggris. Wah, tambah keren).
Ketiga, waktu yang digunakan untuk les,
termasuk perjalanan pergi dan pulang, membuat kebersamaan dengan orangtua
menjadi berkurang. Belum lagi keletihan akibat kemacetan dan kondisi jalan
raya. Pada malam hari, yang bisa dijadikan waktu untuk bercengkerama, anak
sudah terlalu lelah. Ada orangtua yang mengatakan “yang penting kualitas
komunikasinya, bukan kuantitasnya”. Tetapi sebenarnya kuantitas dan kualitas sama
pentingnya—terutama untuk anak-anak.
Di sisi lain, kita harus membuka mata
bahwa ada banyak orangtua yang sukses mendidik anak tanpa intervensi lembaga
les yang berlebihan. Mereka dengan sekuat tenaga mengajari anaknya apa yang
mereka bisa. Mereka menggabungkan “pembelajaran” sembari menjalin kedekatan
dengan anak dalam sebuah interaksi yang hangat dan menyenangkan. Apabila anak
harus ikut les, maka hanya dipilih les yang spesifik dan sulit untuk diajarkan
orangtua di rumah.
Les memang bukan sesuatu yang harus
selalu dijauhi. Tetapi orangtua perlu meluruskan niat, apa motivasi
mengikutsertakan anak pada sebuah les. Bagaimanapun juga, hadist nabi “Sesungguhnya amal-amal itu sesuai dengan
niatnya...”
(HR Bukhori dan Muslim), akan selalu relevan. Niat inilah yang membedakan tiap
satu tindakan dengan tindakan yang lain. Niat dapat pula membedakan apakah
tindakan tersebut bernilai ibadah atau tidak. Kendati sama-sama
mengikutsertakan anak mengikuti les, niat inilah yang membedakan mana orangtua outsourcing dan mana yang tidak.
Pertanyaannya, Anda
termasuk yang mana?
M. Edy Susilo,
Dosen FISIP UPN ‘Veteran’ Yogyakarta
Foto :
Post a Comment