7 M untuk Anak



Komunikasi esensinya adalah memuaskan semua pihak. Sayangnya, dalam komunikasi ada saja pihak yang merasa puas, sepuas-puasnya, tetapi yang lain tidak terpuaskan, atau bahkan tertekan. Komunikasi orang tua dan anak seringkali menunjukkan kecenderungan ini.
Orang tua dan anak jelas-jelas memiliki dunia sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, berkembang, kreatif, suka meniru, dan lebih jelas lagi, anak-anak bukan “orang dewasa mini”. Orang tua dunianya keras, ingin semua serba teratur, penuh kompetisi, ingin disiplin, ingin anak pintar dan penurut, dan seterusnya. Orang tua dan anak memiliki kerangka berfikir (frame of reference) dan medan pengalaman (field of experience) yang berbeda.
Disinilah persoalannya. Komunikasi tak akan jalan jika tak ada pemahaman. Dalam berkomunikasi, orang tua sering kali mengabaikan perasaan anak. Padahal jika anak merasa tidak nyaman, bisa merusak harga dan kepercayaan dirinya. Jika cara berkomunikasi orang tua masih banyak yang keliru, pesan tidak akan sampai. Anak-anak akan menyerap pesan apapun dengan mudah bila mereka dalam kondisi senang, dan tidak tertekan.
Bagaimana dengan gaya komunikasi keseharian kita dengan para permata hati yang luar biasa itu ? Para orang tua yang tidak bijaksana, semoga kita tidak termasuk di dalamnya, seringkali menerapkan rumus 7M untuk anak ketika berkomunikasi. Apa itu ?

MEMERINTAH. Betapa sering, kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir ayah bunda yang mulia melulu berjeniskan kalimat perintah. Hampir tanpa variasi. “Andi, mandi cepat !,” “Nabila, Bajunya pakai yang biru saja, jilbabnya juga yang ini !”, “Ayo..makannya dihabiskan !”, “ Sepatunya taruh di rak sepatu !, koq dibuat berantakan begini !” dan seterusnya. Kalimat-kalimat bernada perintah jika terlalu mendominasi pendengaran anak akan membuat jiwanya kerdil. Kelak jika dewasa, sulit mengharapkannya menjadi penyelesai masalah (problem solver), karena otaknya biasa bekerja di bawah perintah, tidak ada alternatif. Berikanlah kalimat-kalimat yang lebih rendah tekanannya, mengandung alternatif, dan melatih anak untuk mengambil keputusan sendiri. “Ayo..mau mandi jam berapa ?”, “Coba dipilih sendiri dech baju mana yang Nabila suka, pasti cantik..” “Kira-kira kalau makannya nggak dihabiskan, gimana coba…mubazir kan..” kalimat-kalimat seperti ini lebih membangkitkan jiwa daripada melulu perintah.
MENYALAHKAN. “Mama kan udah bilang, kalau main, jangan panjat-panjatan begitu..Jadi jatuh kan..!”, atau “Makanya, kalau pulang sekolah langsung pulang, nggak usah mampir dulu, jadi keserempet sepeda kan…!”. Anak sering kali diposisikan dalam posisi serba salah. Padahal belum tentu mereka yang salah. Kalaupun benar-benar salah tidak selayaknya mereka terus dipojokkan. “Ya sudah, nggak apa-apa, lain kali hati-hati ya…” kalimat ini lebih menentramkan hati anak.

MEMBERI CAP. “Kamu memang selalu mengganggu adikmu!”, “Koq lambat banget sih..Selalu begitu. kapan sih bisa cepat?” . Labelling atau pemberian aneka sebutan negatif pada anak berpengaruh pada jatidirinya kelak. Gantilah kata-kata negatif dengan kata-kata yang lebih positif seperti : “bodoh” dengan “harus banyak belajar”, “tidak bisa” dengan “pasti bisa”, “gak pede” dengan “pede aja lagi…” dan seterusnya.

MENGANCAM. Merasa memiliki otoritas penuh, orang tua seringkali main kuasa dan main ancam. “Awas ya..kalau nggak garap PR uang jajanmu nanti ayah potong,”, “Nanti nggak diajak Mama lho..kalau nonton teve terus…” Sebaiknya kalimat-kalimat bernada ancaman dihindari. Karena anak akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena “takut”. Tentu hal ini tidak mendidik. Bangkitkanlah kesadarannya dengan kalimat-kalimat yang inspiratif dan menggerakkan.
MEMBOHONGI. “Ibu sedang nggak punya uang…” kata seorang Ibu ketika anaknya ingin dibelikan buku, padahal baru saja sang ibu terlihat membeli baju baru. Berbohong, sekecil apapun, tak layak dilakukan orang tua pada anaknya.
MENYINDIR. “Katanya sekolahnya di SD Islam …masa’ shalatnya ditunda-tunda…”,”Katanya
 juara kelas, masa’ gitu aja nggak bisa..” Sindiran-sindiran seperti itu lebih bersifat memojokkan dan melemahkan dibanding membangkitkan semangat.

MEMBANDINGKAN. Sengaja atau tidak, orang tua sering mencari pembanding bagi anak, bisa kakak, adik, atau temannya yang dianggap lebih baik. Jika tidak bijak, membanding-bandingkan ini bisa menjatuhkan harga diri anak, dan akan berakibat fatal. “Coba tuh lihat, adikmu, selalu patuh, rajin juga!”. “Waduh, nilai raportmu koq jelek begini sih, banyak main game sih, coba liat si Ahmad itu, belajarnya rajin, pantas aja jadi bintang kelas…”

Jika diteruskan, maka akan muncullah rentetan “M” negatif yang lain, yang lebih banyak lagi. Gaya komunikasi 7M ini bisa berkembang lagi jadi 10 M, 12 M, 14 M dan seterusnya.Padahal sejatinya, anak hanya butuh 2M saja, sebagai wujud penghargaan dan kasih sayang : “Makasih..ya Mas !” atau “Makasih ya..Mbak”. Bukankah di balik sikap dan perilaku anak yang membuat ayah dan bunda mengelus dada, terdapat lebih banyak lagi perbuatan mereka yang menentramkan jiwa. Selayaknya kita berterimakasih pada mereka. Atau, si kecil itu juga memerlukan 2 M yang sederhana :” Maafkan ayah ya Mas..,” atau “Maafkan Ibu ya..Mbak..”. Bukan mereka yang selalu berbuat salah sehingga layak diberi 7M tadi. Tapi justeru, kita, ayah bunda-nya, punya potensi berbuat salah lebih banyak lagi dari mereka. Sungguh, mereka begitu hebat dan berharga….! (***)

Catatan : tulisan ini pernah dimuat di Majalah Fahma, Cerdas di rumah Cerdas di Sekolah, edisi September 2009
Dr. Subhan Afifi, M.Si | Pimred Majalah Fahma | Dosen Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta | Ayah 3 anak | 
Berbincang melalu twitter follow https://twitter.com/subhanafifi

Powered by Blogger.
close