Mendidik dengan Keteladanan
Januari lalu saya berkesempatan mengunjungi TKIT Ya Bunayya dan SDIT Al Madinah, Hidayatullah Kebumen untuk berdiskusi tentang Strategi Public Relations Sekolah. Selain terkesan dengan bersih dan asrinya lingkungan kampus yang membuat para siswa betah belajar dan bermain serasa di rumah, saya menaruh apresiasi mendalam dengan tagline sekolah itu “Mendidik dengan Keteladanan”.
Sebuah cita-cita dan komitmen, sekaligus janji yang harus ditepati. Para ahli pemasaran menyebutnya dengan istilah positioning. Bagaimana pengelola suatu lembaga ingin memposisikan produk, merek dan lembaganya dalam benak pelanggan yang menjadi target pasar. Positioning adalah “janji” yang akan ditagih, sekaligus merupakan “reason for being” bagi lembaga. Pilihan positioning itu sangat tepat. Di saat orang tua dan masyarakat resah dengan semakin susahnya mencari sosok teladan sejati, bukan sekedar formalitas, sekolah itu menyodorkan secercah harapan untuk “Mendidik dengan Keteladanan.” Satu keteladanan lebih dahsyat pengaruhnya dibanding seribu nasihat. Itu kata orang bijak Walau para pendidik berbuih-buih berkhotbah tentang kejujuran, tapi perilaku menipu berjamaah dalam ujian nasional misalnya, ditampakkan secara kasat mata, anak didik justeru akan menyerap lebih cepat pelajaran tentang korupsi. Pendidikan tak kan pernah mencapai kesejatiannya tanpa keteladanan.
Bicara tentang keteladanan, saya jadi ingat peran keayahan (fatherhood), yang saya dan para ayah lain jalankan. Menjadi teladan, adalah salah satu soal ujian tersulit yang dihadapi para ayah. Bicara dengan fasih tentang ini itu, adalah salah satu keterampilan utama para ayah yang sejak lama dikenal sebagai komunikator hebat. Tapi mewujudkannya dalam bentuk riil, mudah dilihat dan dijadikan sebagai model hidup, tanpa perlu teori panjang lebar, masih perlu banyak latihan. Para ayah yang perokok berat, tentu tak berharap anak-anaknya kelak menjadi “ahli hisab” (gemar menghisab asap, maksudnya). Nasehat “Jangan sekali-sekali merokok ya Nak, nggak baik untuk kesehatan, boros juga, kan boros teman syetan, ” yang diberikan kepada sang anak dengan lemah lembut tapi di bibir masih terselip lintingan tembakau 9 cm, tentu hanya akan dianggap lelucon. Petuah untuk rajin belajar, gemar membaca dan mengurangi menonton televisi akan terasa hambar, bila sang ayah justeru tak boleh terganggu sedetikpun dari tayangan kegemarannya, dan jarang terlihat membuka buku. Ajakan ayah untuk bersikap sabar dan menghindari marah, pada kakak dan adik yang sedang bertengkar, tapi disampaikan dengan mata melotot, suara keras, dan gerakan tangan untuk menjewer, tentu susah dipahami substansinya oleh sang anak.
Adil Fathi Abdullah dalam “Kaifa Tushbihu Aban Naajihan (Menjadi Ayah yang Sukses)” menekankan bahwa faktor keteladanan ayah sangat berpengaruh pada pendidikan anak, karena pada tahap awal anak belajar dengan cara meniru. Ayah lah yang pertama menjadi teladan untuk urusan akidah, ibadah, akhlak, muammalah, dan segala hal yang ingin diajarkan pada anaknya. Keteladanan sangat membantu dalam pembentukan karakter, dan bisa jadi sangat menghemat tenaga. Tak perlu banyak cakap, anak adalah peniru yang hebat. “Pengaruh perbuatan satu orang terhadap seribu orang lebih besar daripada pengaruh ucapan seribu orang kepada satu orang,” tulis Abdullah menggambarkan kekuatan keteladanan.
Dorothy Law Nolte juga telah lama mengingatkan bahwa “Children Learn What They Live”. Anak belajar (terutama) dari kehidupan yang dijalaninya. Bukan sekedar dari untaian kata-kata dan nasehat. “If children live with criticism , they learn to condemn”, kata Dorothy. Jika anak dibesarkan dengan celaan, mereka belajar memaki. Atau, “if children live with hostility, they learn to fight,” jika anak dibesarkan dengan permusuhan, mereka belajar berkelahi. Bukankah sikap kita yang sering menyalahkan, membandingkan, mencela, bahkan sering menunjukkan sikap yang tidak bersahabat tanpa sebab terhadap mereka, adalah pelajaran efektif yang siap ditelan?
Ah, saya jadi malu dengan belum satunya kata dan perbuatan dalam mendidik para anugerah terindah itu. Tapi, rasanya belum terlambat untuk bergegas. Minimal berusaha menjadi sahabat dengan persediaan kasih sayang tak terbatas yang bisa dipercaya oleh mereka. “If Children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live”, masih kata Dorothy yang terngiang-ngiang di telinga saya. Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang indah untuk ditinggali. Mereka juga belajar menemukan cinta dalam kehidupan. Jika para ayah sudah jadi teladan, tentu para bunda akan tersenyum lebih lebar, bulan pun akan terasa lebih terang. Anda Setuju? (***)
Dr. Subhan Afifi, M.Si | Pimred Majalah Fahma | Dosen Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta | Ayah 3 anak |
Berbincang melalu twitter follow https://twitter.com/subhanafifi
Post a Comment