Cerdas Mengelola Kegagalan
Barangkali setiap orang pernah merasakan
kegagalan. Ketika gagal, orang akan merasa kecewa, sedih atau bahkan marah.
Reaksi semacam itu adalah sesuatu yang manusiawi. Sebab, sebelum kegagalan
terjadi, biasanya orang sudah memiliki rencana tertentu. Tetapi reaksi atas
kegagalan sebaiknya tidak berlarut-larut karena hanya akan membuat kita terjerumus
dalam perasaan putus asa.
Sesungguhnya, sama seperti dalam urusan
apa pun, tidak ada rumus jitu dalam
menghadapi kegagalan selain kembali pada panduan yang ditentukan oleh Allah Ta’ala. Kalaupun dalam mengelola
kegagalan memerlukan kecerdasan, maka para cerdik pandai mengistilahkannya
sebagai “kecerdasan spriritual”. Kegagalan yang terjadi adalah sebuah ketentuan
yang tidak bisa dihindarkan. Apalagi yang bisa dilakukan selain bersabar dan mengembalikan
semuanya kepada Sang Maha Pemilik segala sesuatu.
Namun, orang yang mengalami kegagalan
perlu melihat kegagalan tersebut bukan sebagai tembok tebal yang membuat segala
langkah harus terhenti. Kegagalan akan lebih baik dianggap sebagai sebuah etape
perjalanan di mana kita perlu istirahat sejenak, introspeksi dan mengumpulkan
energi untuk melanjutkan perjalanan kembali.
Terkait dengan kegagalan yang menimpa
anak-anak, maka peran orangtua amat penting dalam membesarkan hati anaknya agar
tidak terpuruk dalam keputus asaan
atau nglokro (Jawa). Anak-anak bisa
gagal dalam mendaftar di sekolah baru, dalam mengikuti pelajaran di sekolah, dalam
suatu kompetisi atau bahkan merasa gagal dalam sebuah permainan bersama
teman-temannya. Reaksi tiap anak terhadap kegagalan tidaklah sama. Orangtua
perlu mengenali karakter masing-masing anak sembari mengarahkan mereka supaya
bisa menerima kegagalan. Terdapat anak yang easy
going dalam menerima kegagalan. Ada pula yang mudah tertekan dalam menghadapi
kegagalan.
Orangtua yang cerdas mengelola kegagalan
akan lebih mudah memberikan pengertian kepada anak-anak yang mengalami
kegagalan. Ada beberapa langkah yang dapat dikembangkan ketika menerima
kegagalan. Pertama, mengembangkan
sikap khusnudzon pada Allah Ta’ala. Kita harus yakin bahwa Allah sudah tahu mana
yang terbaik buat kita. Mengenai hal yang baik dan buruk bagi manusia, kita
bisa mencermatinya pada Surat Al Baqarah ayat 216.
Kedua,
introspeksi diri. Kita perlu mengkaji kembali perencanaan yang telah dilakukan.
Begitu pentingnya perencanaan yang baik
sehingga orang bijak mengatakan “gagal merencanakan sama dengan merencanakan
kegagalan”. Rencana yang matang perlu diiringi dengan doa dan usaha sekuat
tenaga.
Pada tahap perencanaan, kita perlu menyusun “Plan
B”, untuk mengantisipasi jika rencana pertama gagal. Seyakin-yakinnya kita
dengan sebuah perencanaan, sebaiknya tetap memberi ruang di batin kita jika
rencana tersebut gagal. Plan B membuat
kita tidak terlalu “terjatuh” ketika gagal. Sikap roja’ (berharap) dan khauf
(takut) pada Allah perlu kita kembangkan seperti burung-burung mengepakkan
kedua sayapnya.
Ketiga, tidak
putus asa dan terus melanjutkan perjalanan hidup. Dalam kegagalan, kita perlu
tetap bersyukur karena ajaran agama kita mengajarkan sikap untuk tidak putus
asa dan selalu optimis. Ayat 87 dalam Surat Yusuf “...Tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir”
perlu terus kita gemakan di dada.
Kegagalan dan kesuksesan adalah dua hal yang akan senantiasa dihadapi
oleh manusia. Ketika gagal, kita harus optimis untuk bangkit lagi. “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada
kemudahan”, firman Allah pada Surat Al Insyiroh ayat 5.
Bahkan Allah mengulangnya kembali pada ayat berikutnya “sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. Pelangi yang indah baru akan muncul setelah
hujan. Kadang kesuksesan yang manis bersembunyi di balik kegagalan yang pahit. Namun,
kita juga perlu sabar karena mungkin bertahun-tahun kemudian, kita baru mengetahui
hikmah dari kegagalan.
Pada intinya, berserah diri kepada Allah menjadi kunci dalam
mengelola kegagalan. Karena, kalau sudah berserah, apalagi yang kita risaukan?
M Edy Susilo, Dosen Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta
gambar : melindahospital.com
Post a Comment