Mengelola Kelas Atas dan Kelas Bawah di SD/MI
Sistem pendidikan nasional mengatur bahwa jenjang
pendidikan dasar berlangsung selama sembilan tahun, meliputi jenjang SD/MI enam
tahun dan SMP/MTs tiga tahun. Enam tahun
di SD/MI merupakan rentang yang panjang. Apalagi anak berada pada usia subur, usia di mana anak cepat
sekali mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
Dalam satu satuan pendidikan, kelas bawah
(kelas 1, 2, 3) dan kelas atas (kelas 4, 5, 6) umumnya berada dalam satu lokasi
dan dalam satu sistem pengelolaan. Ini akan merugikan bagi perkembangan anak
jika tidak dipisah atau dibedakan pendekatannya.
Sistem klasikal memang sudah memungkinkan
untuk menerapkan perlakuan yang berbeda untuk masing-masing tingkatan kelas.
Guru di kelas satu tentu akan mengelola pembelajaran dengan pendekatan yang
berbeda dengan Guru di kelas tiga, misalnya.
Namun bagaimana di luar kelas? Ada beberapa
hal yang sering luput dari perhatian pengelola sekolah. Beberapa hal ini
mempunyai andil dalam munculnya gejala-gejala negatif pada anak-anak. Misalnya
gejala stress pada anak-anak kelas satu dan dua, gejala tidak semangat belajar
pada anak-anak kelas empat dan lima, bahkan kelas enam.
Beberapa hal yang dimaksud di atas bersifat
komplek. Kita sederhanakan saja dalam tiga fokus, yaitu: target kecakapan, area
bermain, dan porsi waktu belajar dan bermain. Pertama, target kecakapan harus dibedakan. Pada kelas bawah, fokus
utama yang diberikan adalah dorongan untuk belajar, cara-cara belajar, dan
desar-dasar berpengetahuan. Pelajaran utamanya adalah membaca, menulis,
menguasai dasar berhitung. Kemudian menghilangkan hambatan belajar, termasuk
kemampuan mendengar dan bicara. Diperbanyak pula kisah atau cerita yang memuat
nilai-nilai positif, terutama kewajiban untuk belajar. Tidak ada penekanan pada
konten materi ajar. Ringkasnya, mereka belajar untuk mengetahui bagaimana caranya
belajar. Memberi materi ajar pada saat anak belum tahu bagaimana belajar, hanya
akan membebani yang bisa berakibat stress pada anak.
Di kelas atas, anak akan benar-benar belajar.
ya, saat itulah waktu yang tepat bagi kita untuk memberi materi ajar dengan ditetapkan
target akademis maupun non akademis. Sebagai contoh, berikut adalah target
kecakapan murid kelas atas MI plus Al Kautsar Yogyakarta: Naik kelas
empat harus lancar membaca Alquran, hafal Alquran juz 30, membaca (latin)
dengan cepat, mampu memahami bacaan, hafal perkalian 1–9, memahami arti bacaan
shalat. Selain itu, anak juga harus bisa berpakaian menutup aurat, menjadi teladan
dalam budaya madrasah, mampu membimbing adik-adiknya di kelas bawah, suka membaca,
bergairah ingin tahu (antusiasme), menunjukkan kepedulian pada lingkungan dan sesama
dan mandiri dalam shalat dan belajar di rumah.
Kedua, area bermain terpisah. Bagi anak
usia SD/MI, kegiatan belajar tidak bisa dipisah dari kegiatan bermain. Bermain
bersama teman sebenarnya adalah saat anak sedang belajar. Belajar kecakapan
sosial. Jika sering terjadi kontak fisik antar anak yang rentang usianya jauh,
maka ada kemungkinan terjadi hambatan dalam sosialisasi atau anak mendapatkan ‘pelajaran’ yang belum sesuai usianya.
Maka sebaiknya ada pemisahan area bermain. Tentu saja dengan jenis permainan
yang berbeda pula.
Ketiga, porsi waktu belajar dan bermain
berbeda. Kemampuan konsentrasi belajar anak berbanding lurus dengan
bertambahnya usia. Jam tatap muka kelas atas dan kelas bawah sudah dibedakan.
Memang harus berbeda. Kelas bawah 30 menit sedangkan kelas atas 35 menit.
Tetapi biasanya dikelola dengan waktu yang sama. Satu sekolah hanya ada satu
tanda bel. Jam yang dipakai adalah 35 menit sehingga guru di kelas bawah
memberikan ice breaker yang lebih. Agar waktu konsentrasi belajar tetap
terjaga, berilah waktu bermain yang cukup agar mereka mencukupkan waktunya saat
belajar.||
Slamet Waltoyo,Kepala Sekolah MI Plus Al Kautsar, Yogyakarta
Post a Comment