Menumbuhkan Kesantunan dan Kepedulian dari Sekolah
Pada suatu malam, istri saya bercerita bahwa siang tadi, dia pulang dari kampus
naik bis kota, karena anak bungsu yang biasa menjemput masih ada kuliah
tambahan. Ketika dia berjalan hampir sampai halte bis, terlihat sudah ada beberapa
siswa sekolah menengah atas yang menunggu bis sambil senda gurau. Ada yang duduk dan ada yang berdiri. Ketika
istri sampai di halte, semua siswa tadi terdiam, yang duduk dengan serempak
berdiri dan mempersilahkan istri duduk di tempat yang semula mereka pakai. Sambil
mengucapkan terima kasih, istri saya memandang
mereka, Subhanallah, kesantunan dan kepedulian
terpancar dari wajahnya. Istri saya merasakan kesejukan sikapnya, dari sekolah
mana mereka?
Bagaimana sekolah bisa membentuk siswa-siswa seperti
ini? Sebuah pertanyaan yang sangat wajar dikemukakan pada saat ini, karena yang
sering terdengar adalah perkelahian dan tawuran, serta kurang peduli
lingkungan. Kami jadi teringat ketika harus memilih sekolah dasar untuk anak
kedua kami yang lahir di Perancis. Dia mempunyai karakter yang sedikit berbeda
dengan kakaknya.
Sifatnya lebih terbuka
sehingga kami khawatir pengaruh dari luar akan lebih mudah masuk
.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masa depan anak-anak
sangat dipengaruhi oleh pendidikan dasarnya, sehingga dalam memilih sekolah dasar
harus hati-hati. Sekolah yang menjadi pilihan kami, bukanlah sekolah yang di
ruang tamunya berderet piala kejuaraan. Bukan pula sekolah yang dijaga oleh
petugas dengan pakaian rapi, namun berwajah tidak bersahabat, atau sekolah
dengan halaman yang asri, namun para tukang kebunnya tidak jujur dan senang
menghasut. Kami tidak ingin menyekolahkan anak kami di sana. Akhirnya untuk
anak kedua kami memilih sekolah yang berbasis agama yang mempunyai guru,
penjaga sekolah dan tukang kebun yang berkomitmen melaksanakan ajaran tauhid, yang selalu
mengajarkan kesantunan.
Alhamdulillah,
pilihan kami tidak terlalu salah. Rasa syukur ini kami rasakan
ketika suatu hari pada saat saya menjemput anak, guru kelasnya menceritakan
tentang apa yang telah dilakukan oleh anak-anak pada hari itu. Mereka yang baru
kelas dua telah mempunyai empati dan rasa sosial yang peka. Ternyata mereka telah
berinisiatif untuk menghimpun dana dari sebagian uang sakunya untuk disumbangkan
kepada seorang tukang kebun yang masuk rumah sakit, kepalanya luka kejatuhan
benda yang berasal dari kelas yang sedang diperbaiki. Kami bangga, bagaimana
anak-anak seusia mereka sudah punya keinginan untuk meringankan penderitaan
orang lain. Saya yakin mereka tidak akan melakukan tindakan solidaritas itu
kalau memang para guru tidak pernah mengajarkan atau mencontohkannya. Mereka
tidak akan melakukannya kalau tidak ada kedekatan dengan tukang kebun yang
selalu memberikan keteladanan. Kami yakin pasti dalam kesehariannya mereka
bergaul dengan akrab penuh dengan rasa saling memiliki.
Kebiasaan baik yang ditanamkan oleh guru beserta yang
lain tidak hanya empati, rasa sosial, tapi juga rasa penyerahan diri pada Allah Ta’ala. Hal ini kami saksikan
pada saat anak tersebut dikhitan beberapa bulan kemudian. Kebetulan khitan
dilakukan seorang dokter teman ibunya sehingga suasananya bisa lebih santai. Sering
terjadi, ketika dokter mempersiapkan peralatan dan akan mulai menjalankan
tugasnya, anak yang akan dikhitan sudah mulai gelisah, takut dan tidak sedikit
yang akhirnya menangis, bahkan ada yang lari tidak jadi khitan. Sehingga kami
juga sedikit khawatir jangan-jangan dia akan takut atau menangis karena yang
kami amati selama ini, dia bukan termasuk anak pemberani.
Namun yang kami temui jauh dari itu semua, ketika
dokter akan mulai melaksanakan tugasnya, dia kelihatan sedikit gelisah, namun
tidak menangis dan justru kami lihat mulutnya komat-kamit, dia berdzikir. Subhanallah, kami tidak heran
kalau dzikir tadi keluar dari bibir orang dewasa yang sedang mengalami
kegelisahan atau ketakutan, namun ini keluar dari mulut anak kelas 2 SD yang
berada dalam suasana tidak menentu. Dokter sempat berhenti sejenak sambil
tersenyum dan bergumam
“Baru kali ini saya punya pasien kecil berdzikir ketika dikhitan,
di mana
sekolahnya?”Alhamdulillah, Allah telah memilihkan sekolah yang baik untuk anak
kami. Wallahu a’lam bish-shawab.||
Prof. Dr. Ir. Indarto, DEA
Pimpinan Umum Majalah Fahma
Post a Comment