Pendidikan Berbasis Minat dan Bakat
“Bu, coba lihat ini tanaman Wedusan,
baunya kayak Wedus (kambing-red). Tahu gak, Bu, ini bisa
dipakai buat obat lho. Kalau panas sama diare bisa pakai ini,” seorang
murid bernama Ipul menjelaskan dengan semangat hasil eksplorasinya. Hari itu
pelajaran IPA kelas 3 digunakan untuk pembelajaran mengenal Sumber Daya Alam. Guru
pengampu sains mengajak anak-anak ke luar sekolah dan meminta mereka
mengeksplorasi hasil pengamatannya. Hal yang menarik adalah penjelasan Ipul
mengenai tanaman gulma Ageratum
conyzoides L. atau yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Wedusan
atau Bandotan karena memang aromanya yang seperti kambing.
Selama perjalanan mengelilingi kebun sekitar
sekolah, dia juga menjelaskan kegunaan pohon jati, jenis daun talas yang dapat
diolah menjadi sayur dan yang rasanya pahit, sampai mengenal serangga yang
hidup di air. Guru tersebut takjub dengan kemampuan Ipul, sebab dia termasuk
anak istimewa yang mendapat jam khusus ketika pelajaran sains dan matematika.
Di tempat lain, saat seorang guru sedang
menunggu kehadiran anak-anak kelas 4 spesial, Akbar, seorang anak bertubuh
besar yang sudah hadir lebih dulu menunjukkan hasil penemuan sederhananya. Dia
merakit sebuah lampu kepala dari lampu senter yang dirakit dengan kabel-kabel
kecil.
Dari sepenggal cerita di atas, Ipul dan
Akbar adalah contoh anak yang memiliki potensi unik. Apabila dikembangkan tentu
akan menjadi sesuatu yang hebat. Secara kemampuan kognitif matematis, Ipul dan
Akbar dapat dikatakan standar atau terkadang di bawah rata-rata, tetapi mereka
memiliki kecerdasan kontekstual luar biasa.
Pembelajaran di Indonesia saat ini
umumnya masih menilai kemampuan anak secara parsial. Potensi mereka yang tak
terbatas harus dibatasi dengan nilai di rapor. Alhasil, orangtua hanya mengukur
anak mereka berprestasi atau tidak dari pencapaian KKM yang ditentukan oleh
sekolah. Ditambah lagi tak adanya inisiatif guru untuk mendeskripsikan minat,
kemampuan, dan cara belajar anak kepada orangtua. Bahkan, naik kelas dan tidak
naik kelas hanya terukur oleh nilai-nilai matematis.
Munif Chatib dalam bukunya “Sekolahnya
Manusia”, menyebutkan bahwa setiap anak memiliki kecerdasan beragam. Sangat
egois apabila seorang guru atau orangtua memvonis anaknya bodoh hanya karena
belum dapat membaca di usia 7 tahun atau tak dapat mengerjakan soal matematika
tanpa mengetahui penyebabnya. Boleh jadi seorang anak lemah dalam kemampuan
berhitung tetapi memiliki kemampuan bahasa di atas rata-rata. Atau ada anak yang
sulit untuk membaca ternyata kemampuan interpersonal atau bersosialisasi yang
baik.
Rasulullah telah mencontohkan bagaimana
seharusnya seorang guru mendidik. Hal ini tergambarkan dari cara beliau
menerapkan pendidikan berbasis minat dan bakat terhadap sahabat-sahabat beliau.
Rasulullah sangat mengetahui bahwa masing-masing sahabat memiliki kelebihan dan
keunikan berbeda dengan yang lain. Karena itu, beliau tidak membebani mereka
untuk melakukan sesuatu di luar bakat dan kapasitas mereka. Hingga akhirnya
lahirlah manusia-manusia istimewa dengan basis bakat alamiah mereka.
Ali bin Abi Thalib misalnya. Ia dari
awal memiliki bakat kemiliteran dan keilmuan yang menonjol. Sehingga Rasulullah
membina Ali agar menjadi panglima perang yang andal dan seorang ilmuwan.
Berbeda dengan Zaid bin Tsabit, sahabat yang satu ini memiliki minat dan bakat
dalam bidang ilmu faraid (hukum
waris). Oleh karena itu, sejak dini Rasulullah membina Zaid sehingga menjadi
ahli faraid di samping menjadi juru
bahasa dan sekretaris pribadi beliau.
Tak ada anak yang bodoh, yang ada
hanyalah guru yang belum dapat mengajar. Kalimat ini menjadi penting untuk
ditanamkan dalam frame berpikir
setiap guru. Ketika anak-anak sulit menerima pelajaran, bisa jadi metode
pembelajaran yang digunakan tidak dapat diterima oleh anak-anak.
Guru yang bijak akan berusaha melihat
potensi setiap anak didiknya. Tak peduli sesulit apapun kondisi anak. Seorang
guru harus mampu memandang optimis anak didiknya. Mengembangkan potensi sesuai
dengan minat dan bakat mereka. Kegigihan guru inilah yang dapat memunculkan insan-insan terbaik dengan
keunikan masing-masing, berakhlak mulia dengan modal keimanan dan spiritual
yang kuat ||
Sastriviana Wahyu Swariningtyas
Pendidik di SDIT Hidayatullah Sleman
Follow Twitter : https://twitter.com/Sastriviana
Post a Comment