Amanah Menjadi Ibu Rumah Tangga
Saat shalat takhiyatul masjid di masjid dusun Singosutan, Kabupaten Sleman,
Yogyakarta, jelang shalat Maghrib, saya terkejut ketika
tiba-tiba anak batita perempuan berdiri dengan polosnya di
sisi kiri saya. Di hari yang lain, di masjid yang berbeda, anak balita masuk
masjid bersama ayahnya. “Dahulukan kaki kanan”, kata ayahnya sambil menunjuk
kaki sang anak.
Pengalaman sebelumnya, hari Jum’at, saya berjalan kaki ke masjid di lingkungan tempat tinggal. Tiba-tiba ada anak
lelaki naik sepeda mendahului saya
dan menyapa. Saya cukup terkejut, karena anak kelas 2 SD tersebut juga
mau ke masjid. Pakai busana koko dan peci. Tiga kejutan ini, kita wajib
bersyukur, ada anak sudah kenal masjid.
Ironis, saat shalat tarawih di bulan Ramadhan kemarin, diramaikan oleh
kegaduhan anak lelaki usia SMP. Saat khutbah maupun shalat tarawih, mereka tetap main di
halaman masjid, bercakap dan bersendau gurau dengan temannya. Bahkan ada anak
perempuan andil keramaian dengan suara dan teriakannya.
Kejutan keempat kontradiktif dengan ketiga fakta anak kenal masjid
sejak dini, yang bisa membuat kita mengusap dada. Iseng saya tanya ke anak
tetangga depan rumah, anak perempuan kelas 5 SD yang masuk siang : “Tadi shalat subuh
pukul berapa?”. Jawabnya santai : “Tidak shalat”. Penasaran, saya tanya lanjut
: “Ibu shalat, bapak shalat?” Jawaban jujurnya : “Ibu kadang-kadang shalat,
bapak tidak shalat!”. Bapak dan ibu anak tadi satu pekerjaan sebagai pekerja/buruh garmen, berangkat
pagi pulang kerja sore, naik motor berboncengan.
Yang membuat saya terkejut sekaligus prihatin karena eyang kakung anak perempuan
tadi dikenal dengan panggilan Pak Haji. Terkadang pak Haji melantunkan bacaan surat/ayat Alquran. Walau suara beliau sudah
semakin parau, namun
tetap enak didengar dan berpahala. Pak Haji sering diundang
pada acara doa bersama di rumah tetangga. Bahkan di lingkungan RT jadi sesepuh
atau tetua.
Sejak dalam Kandungan
Menyimak kejutan keempat tadi, bisa terjadi di keluarga kita, jika kita
sebagai orangtua tidak melakukan pendidikan agama sejak dalam kandungan. Pemberian
stimulan pada bayi dalam kandungan dapat meningkatkan potensi anak sejak dalam
rahim. Pendidikan pra lahir dalam tinjauan pedagogis Islami adalah upaya pendidikan yang dilakukan
sejak anak masih berada dalam kandungan sampai anak tersebut lahir sesuai
ajaran Islam.
Mengenalkan ajaran agama sejak dini sebagai salah satu metode dalam
pendidikan pra lahir. Suara ibunya sebagai suara pertama yang didengar dan direkam. Ibu
dapat memberi stimulasi pada bayinya dengan membacakan ayat suci Alquran. Membiasakan anak
mendengarkan kalimat tauhid. Mensuplai ruh Alquran pada hati dan cahaya Alquran pada pikiran anak
dalam kandungan, diharapkan anak akan lahir dan tumbuh sesuai fitrahnya
Banyak pakar pendidikan menyimpulkan bahwa wanita karir menjadikan anak
mandiri serta prospektus memang tidak bisa dipungkiri. Tapi bagaimana dengan faktor reliji anak? Sebagai ibu rumah tangga
(rumga), tantangan kehidupan keluarga di depan mata seolah tak ada habisnya.
Pergulatan ibu rumga, mulai dari subuh
sampai subuh berikutnya, nyaris 24 jam. Perjalanan hidup anak tidak bisa kita
serahkan pada nasib. Sebagai ibu rumga harus profesional dan banyak peluang
untuk produktif. Rumah tangga sebagai ladang amal dengan mempertimbangkan faktor lingkungan,
sebagai sebagai sekolah umum pertama dan madrasah awal bagi anak. Ibu rumga sebagai
guru pertama pembentuk akidah dan akhlak anak.
Mengacu pada sabda Rasulullah, “Barang siapa
menikah, maka dia telah menguasai separuh agamanya, karena itu hendaklah ia
bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya
lagi”. (HR al-Hakim)
Rumah ibarat surga, luasan hati seorang ibu rumga akan memudahkan
pasutri memelihara surga yang separuhnya lagi. Faktor ajar dan sistem panutan
dalam keluarga harus tetap disemarakkan dan lebih antisipatif, karena adanya
tantangan dan rangsangan eksternal lewat media masa; pengaruh lingkungan; gaya hidup, gaul, dan gengsi.||
Herwin Nur
Konsultan individual
di lingkungan Kementerian PU, Kemenpera
Post a Comment