“Maafkan Ayah, Nak…”
Seorang
ayah tampak sedang memeriksa buku PR anaknya. Tiba-tiba, sang ayah terperangah,
lalu bertanya pada sang anak, “Nak, kok PR matematikanya belum dikerjakan.
Bukankah ini PR untuk besok? Kenapa kamu tidak segera mengerjakannya?” Tanya
sang ayah dengan lembut. Sang anak yang baru duduk di kelas 3 SD itu menjawab
“Sebentar Ayah, aku kerjakan sebentar lagi,” katanya juga dengan suara yang lembut.
“Jangan
begitu dong, PR untuk besok harus dikerjakan sekarang! Tidak ada waktu lagi!
Ayo, segera kerjakan!” ujar ayah yang peduli itu dengan nada memerintah. Suara
yang keluar dari bibir sang ayah pun terdengar lebih tinggi. Ditambah lagi
dengan tatapan mata yang lebih tajam bagaikan harimau hendak memangsa buruannya.
Anak kecil usia 8 tahun itu tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Dengan
langkah yang berat dia pun mengambil buku serta pena dan mulai mengerjakan PR.
Satu
demi satu soal dalam PR mulai dikerjalan. Di tengah mengerjakan PR, ia tampak mulai
tidak konsenterasi. Hitungan yang terlihat sederhana pun tampak seperti perhitungan
matematika yang rumit. Melihat hal itu, sang ayah pun kembali bertindak.“4 x 8
berapa?” Ayahnya bertanya. Sambil menatap langit-langit rumah, anak tersebut
menjawab “34, eh… salah ya?” Katanya ketika melihat ayahnya menatap dengan sorot
mata heran bercampur marah.
“Bagaimana
kamu ini? 4 x 8 saja tidak bisa! Kamu kan sudah kelas 3, mau turun lagi ke kelas
2 atau ke kelas 1? Ayo jawab cepat! Berapa 4 x 8?” Suasana belajar pun telah
berubah menjadi pengadilan. Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan dengan nada yang
cepat dan tidak bersahabat. Ayah dan anak telah berganti peran menjadi seperti
musuh yang berhadapan. Sang anak bagaikan terdakwa yang duduk di depan meja
hijau.
Dengan
air mata yang mengalir di pipi, sang anak berhasil juga menyelesaikan PR yang
hanya 10 soal selama 2 jam. Lalu ia pergi ke kamar tidur dengan wajah tertunduk
seperti seorang pesepakbola yang gagal mengeksekusi tendangan penalti di final
Piala Dunia.
Ya,
begitulah mereka yang kalah atau dikalahkan. Mereka yang mengerjakan sesuatu
atas pesanan dan tak tersisa ruang untuk mengekspresikan dirinya. Harus
sekarang! Dengan cara saya dan ukuran yang telah ditetapkan. Di luar itu apapun
yang dihasilkan tak masuk hitungan.
Dengan
rasa penasaran yang masih menggantung, sang ayah itu menengok anaknya di tempat
tidur. Saat itu, emosi sang ayah sudah mereda dan dia merasakan sedikit rasa
bersalah di dalam hatinya. Dia pun bertanya kepada anaknya. “Nak, kenapa sih
tadi seperti tidak punya perhatian kepada pelajaran? Ayah tahu kamu pintar tapi
kenapa PR tidak dikerjakan? Kok 4×8 saja kakak tidak bisa jawab,”
Sang
anak pun kemudian menjawab masih dengan mata yang sembab. “Ayah, waktu ayah
menyuruh mengerjakan PR, saya sedang menghafal hadits. Besok malam ada tampilan
anak-anak TPA. Anak-anak ikhwan di kelompok saya harus menampilkan hafalan 20
hadits. Saya yang ditunjuk sama ustadz untuk jadi pemimpinnya. Kelompok saya 5
orang, masing-masing harus hafal 4 hadits. Tapi saya kan yang jadi pemimpin,
kalo ada teman yang lupa, saya harus mengingatkannya. Waktu ayah menyuruh
mengerjakan PR tadi, saya sedang menghafal hadits, sudah 18 hadits ayah,
tinggal dua lagi yang belum hafal. Kalau sudah hafal yang 2 hadits itu, saya
sudah berencana langsung mengerjakan PR” katanya sambil menatap wajah ayahnya.
Ayah
yang termangu sejak tadi itu lalu segera memeluk anaknya dan berkata, “Maafkan
ayah ya? Maafkan ayah yang sok tahu…”
Mungkin
ada di antara kita yang pernah membaca kisah di atas. Ada sebuah pelajaran yang
amat penting untuk kita petik dari kisah tersebut. Sejatinya, Allah memberikan
kita dua telinga dan satu mulut agar kita lebih banyak mendengar daripada
berbicara. Tak terkecuali pada anak. Mari kita singkirkan ego kita kepada anak.
Ketika kita tidak sependapat dengan anak terhadap suatu hal, biarkan anak
memberikan alasannya. Bukan dengan memaksa anak menuruti kehendak kita tanpa
mau mempedulikan alasan anak. Melalui kisah di atas, semoga kita bisa memetik
pelajaran untuk belajar menjadi orangtua yang sabar menjadi pendengar yang baik
bagi anak. ||
Ali Rahmanto,
Pemerhati dunia anak,
Post a Comment