Memahami Sesuai Maksudnya


Jangankan soal agama yang jarak antara hidup kita dengan diturunkannya wahyu telah berabad-abad lamanya, untuk memahami maksud sebuah kata di sekeliling kita saja kita perlu tahu betul arti dan peruntukannya. Kita memahami maksud yang sesungguhnya, minimal peruntukannya, dan bukan mengandalkan persepsi kita tentang itu. Kita pahami dulu dengan benar agar memperoleh kebaikannya.

Apakah arti sakinah mawaddah wa rahmah? Ketahuilah maknanya terlebih dahulu, pahami maksudnya dengan bertanya pada mereka yang benar-benar mengilmui, bukan sekedar sekedar sering berceramah, tentang hal itu. Yang paling baik, tentu saja mempelajari tafsirnya dari orang yang memang memahami ilmu tafsir dan membaca dari kita tafsir yang dapat dipertanggungjawabkan. Inilah jalan untuk memperoleh petunjuk dan kebaikan dari ayat Al-Qur'an yang memuat ungkapan tersebut. Semoga Allah Ta'ala rahmati kita dengan Al-Qur'an.

Bersebab bermain dengan persepsi sendiri, berkembanglah fitnah syubhat tentang sakinah sehingga seakan ini merupakan perkara yang memerlukan persyaratan amat rumit dan perjuangan sangat berat. Saya sendiri juga sempat mengalami kekacauan pemahaman di sebagian periode kehidupan saya di Yogyakarta dan hampir saja pembahasan tentang itu terbit di salah satu penerbit buku terkemuka di Jakarta. Alhamdulillah, naskah itu dapat ditahan sehingga tidak terbit. Saya bersyukur kepada Allah Ta'ala yang mempertemukan saya dengan orang-orang yang berilmu sehingga saya justru kembali kepada apa yang saya pahami saat belajar di mushalla kecil di Jombang: sakinah itu sesederhana hilangnya rasa haus sesudah minum. Ketenangan itu datang bersebab menikah dengan sesama manusia.

Sakinah mawaddah wa rahmah memang istilah Al-Qur'an. Tetapi ketika ditambahkan pada frasa tersebut menjadi Keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah, akan lain ceritanya. Ini bukanlah istilah Al-Qur'an. Saya belum pernah mendapatkan istilah ini dalam buku-buku karya penulis Timur Tengah. Sahabat saya yang berpendidikan Timur Tengah dan akrab dengan beberapa ulama di Timur Tengah, juga menyatakan tidak mengenal istilah keluarga samara (sakinah mawaddah wa rahmah, bukan sama-sama menderita) kecuali di Indonesia atau negeri yang terpengaruhi penulis Indonesia.

Belakangan, penjelasan tentang sakinah mawaddah wa rahmah lebih jauh lagi meninggalkan agama. Banyak penceramah dan penulis menjelaskan masalah ini dengan menggunakan istilah passion, intimacy & commitment. Semula saya mengira ini pemaksaan istilah, tetapi setelah membaca sebagian penjelasan, terasa betul bahwa itu bukan penjelasan tentang makna sakinah mawaddah dan rahmah yang ada dalam Al-Qur'an, melainkan pemaparan asumsi Robert J. Sternberg tentang cinta yang dikenal dengan nama The Triangular Theory of Love. Padahal asumsi Sternberg tentang cinta justru sangat bertentangan dengan rumusan tentang pernikahan dalam Islam. Bukan hanya berbeda, tapi sangat bertentangan.

Ambillah contoh tentang komitmen misalnya. Sangat berbeda antara pengertian komitmen menurut Sternberg dengan iltizam (komitmen) dalam agama kita ini. Tetapi saya bukan bermaksud membahas detail tentang masalah ini. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk belajar memahami sesuai maksudnya agar kita tidak semakin menjauh dari agama, di saat kita justru ingin mendekat. Perbincangan kita kali ini adalah tentang istilah, betapa kita perlu mengetahui peruntukannya dan bukan mengandalkan persepsi kita tentang istilah itu.

Banyak lagi istilah agama yang perlu kita pahami kembali makna sesungguhnya. Silaturrahmi adalah contoh yang sangat populer. Ini sebenarnya istilah yang khusus merujuk pada pengertian upaya menyambung kembali ikatan kekeluargaan yang terputus, baik karena konflik maupun karena terlalu lama tidak bertemu atau karena sangat jarangnya berjumpa. Termasuk silaturrahmi adalah, berkunjung ke rumah kerabat atau keluarga yang sudah tidak saling mengenal agar saling kenal dan terjalin hubungan yang baik. Tetapi belakangan, silaturrahmi hanya bermakna kunjungan, meski tak memiliki hubungan kekerabatan sama sekali. Ini bukanlah silaturrahmi. Ini ziyarah (ziarah) biasa. Hanya saja di negeri ini, kata ziarah terlanjur lekat dengan kata kubur, sehingga ketika mendengar kata ziarah dianggap mengunjungi kubur. Padahal ke mall pun ziarah.

Seperti saya sampaikan di awal tulisan, jangankan soal agama, soal dunia saja kita perlu memahami peruntukan sebuah istilah. Bukan mengandalkan persepsi. Maaf, apakah Silititu? Di masyarakat Jawa, istilah ini memang jorok. Tapi ketika mendengarnya di tempat lain, maknanya tidak selalu demikian. Silit juga merupakan salah satu merek terkemuka untuk produk-produk peralatan dapur dan perlengkapan kuliner. Ini pabrikan asal Jerman yang berdiri sejak 1920. Produk Silit memiliki pasar cukup luas di Jepang dan beberapa negara lain. Di negeri kita, produk ini tidak masuk secara resmi, barangkali karena harganya yang cukup menakutkan.

Di Turki ada perusahaan makanan yang sangat terkemuka. Namanya Berrak Makarna, pemilik merek Berrak untuk produk-produk spaghetti, saos, makanan instant, asinan cabe jalapeno yang terkenal paling pedas sedunia hingga air minum. Contoh ini kalau diperpanjang akan lebih banyak lagi.

Jangankan begitu. Antara bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia saja, banyak sekali perbezaan. Akar bahasanya sama, tetapi perkembangan yang terjadi kedua negara menjadikan sebagian kata mengalami perubahan makna. Jika tak berhati-hati dan saling berprasangka baik, bisa runyam akibatnya. Seorang mahasiswa pasca sarjana asal Malaysia di Jepang menyampaikan kepada rekannya asal Indonesia bahwa ia hendak menjemputnya makan malam. Rekan kita ini pun bersedia dengan senang hati. Tetapi hingga lewat 1 jam dari yang disebutkan, rekannya yang asal Malaysia tak kunjung datang. Mengapa? Dalam bahasa Malaysia menjemput berarti to invite (mengundang), sementara rekan kita yang asal Indonesia memahaminya sesuai makna di Indonesia (to pick up). Untunglah mereka segera memahami perbedaan itu.

Mohammad Fauzil Adhim
Powered by Blogger.
close