Menumbuh Kepatuhan tanpa Bentakan


Seringkali kita sebagai orangtua menghadapi sebuah situasi ketika anak melakukan sesuatu yang membuat kita marah. Ada kalanya kita mampu menguasai diri sehingga bisa menegur anak dengan cara yang baik. Akan tetapi tidak jarang pula di saat kita tidak mampu mengontrol diri, lalu terucaplah bentakan kepada anak kita. Bahkan banyak pula orangtua yang menjadikan membentak anak sebagai sebuah kebiasaan.  Saat melihat anak melakukan kesalahan, atau ketidakpatuhan, orangtua memang sering dibuat jengkel.
Secara refleks, karena emosi, orangtua sering bermaksud 'menasihati', tapi diucapkan dengan nada tinggi. Kebiasaan ini juga lebih sering dilakukan oleh orangtua yang temperamental. Pertanyaannya, efektifkah menasihati anak dengan bentakan? Tentu tidak, sebab kalau anak terlalu sering dibentak, maka ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang minder, tertutup, bahkan pemberontak. Ia pun bisa menjadi temperamental dan meniru kebiasaan orang tuanya, suka membentak. 
Sering membentak anak juga menimbulkan efek yang tidak baik pada perkembangan sikapnya. Ia bisa meniru orangtuanya dan akan berteriak sesuka hati baik kepada orangtua maupun orang-orang di sekitarnya. Tentunya kita tidak ingin anak kita bersikap demikian. Untuk itu sebaiknya hindari membentak meskipun kita sedang marah padanya. Membentak justru tidak akan efektif menimbulkan kepatuhan. Justru yang ada adalah makin tebalnya jiwa pemberontak dalam diir mereka.
Jika bentakan memang tidak efektif untuk menumbuhkan kepatuhan, bahkan berpengaruh negatif bagi kepribadian anak, lalu bagaimanakah cara yang baik untuk menumbuhkan kepatuhan?
Pertama, beri penjelasan pada anak. Jelaskan pada anak dengan bahasa yang ia mengerti, mengapa suatu hal diperintahkan dan hal lain dilarang. Jangan sekali-sekali memberi keterangan dusta dalam hal ini. Kedua, perintahkan sebatas kemampuannya. Ada pepatah mengatakan, "Jika engkau ingin ditaati, maka perintahkanlah apa yang dapat dipenuhi." Sebaiknya perintah itu dibagi-bagi dan tuntutan pelaksanaannya pun bertahap. Untuk mengetahui sampai di mana batas kemampuan anak sesuai perkembangan usianya, diperlukan pengetahuan tersendiri. Sebaiknya orangtua memahami perkembangan anak ini.
Ketiga, tidak berdusta dan menakut-nakuti. Kadang orangtua mengatakan akan membelikan sesuatu jika anak mematuhi perintahnya. Akan tetapi setelah anak patuh, orangtua tidak menepati janjinya. Itu berarti orangtua berdusta. Boleh jadi anak tidak akan percaya lagi pada orangtuanya. Selain itu, orangtua juga sering menakut-nakuti anak dengan sesuatu yang seharusnya berguna baginya. Hal itu dilakukan karena ingin anaknya segera memenuhi perintah mereka. Misalnya menakut-nakuti anak dengan dokter, suntikan, kena marah ayah dan sebagainya. Ketakutan anak pada hal-hal tersebut bisa terbawa hingga ia dewasa.
Keempat, jangan bertentangan dengan naluri anak. Maksudnya, janganlah orangtua melarang anak bermain, atau membongkar dan memasang sesuatu. Jangan pula melanggar kebiasaan anak kalau tidak ingin mereka menggunakan jerit tangis sebagai senjatanya. Lebih baik naluri anak itu diarahkan sedemikian rupa sehingga anak bisa mengatur dirinya sendiri. Misalkan diberi perintah, "TPA nanti mulai ba'da asar lho, sekarang kan udah setengah tiga. Adik udah aja ya mainnya, dilanjutin besok aja, sekarang mandi dulu, kan udah mau adzan…". Ungkapan itu tidak melarang anak bermain, dan tidak melanggar kebiasaan mereka bermain di tengah hari. Pemberian 'masa terbatas' ini dimaksudkan agar anak bisa mengatur jadwal kegiatannya sendiri, dan akan sangat menolong untuk melatih anak disiplin waktu. Selain itu mereka merasa dianggap mampu untuk mengatur dirinya sendiri tanpa harus didikte begini dan begitu.

Wallahu ‘alam bish showab.[]

Dwi Lestari W
Ibu rumahtangga, tinggal di Bantul


Powered by Blogger.
close