Meraih Kemuliaan dengan Menjaga Lisan
Dalam QS Al-Ahzab: 70, Allah Ta‘ala memerintahkan kita
untuk selalu bertakwa dan mengucapkan perkataan yang benar atau lurus (qaulan
sadidan). Apa yang kita ucapkan selalu bernilai kebaikan. Semua didasari
dengan ilmu dan bisa dipertanggungjawabkan. Tidak ada perkataan yang sia-sia,
apalagi berbau kebohongan. Pokoknya, kita mesti berhati-hati dalam menjaga
lisan.
Persoalan menjaga lisan tampaknya hal sederhana tapi sayangnya masih banyak
yang lupa. Betapa banyak orangtua yang masih gagal menjaga lisan sehingga
berakibat gagal pula dalam mendidik anak.
Sesungguhnya, perkataan kita akan banyak direkam oleh anak-anak. Jika kita
selalu berkata yang baik-baik, insyaAllah anak-anak kita juga terbiasa
demikian. Sebaliknya, jika kita tidak bisa menjaga lisan, bakal runyam jadinya.
Anak-anak akan ikut-ikutan berkata tidak karuan.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam....” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mari kita mencontoh Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam dalam
menjaga lisan. Prinsipnya sederhana: ”berkata baik atau diam”. Saat dikencingi
seorang anak kecil yang digendongnya, toh Nabi kita tidak marah, juga tidak
mengomel.
Hal ini jelas beda dengan kebanyakan kita yang suka bilang, ”Nakal kamu!”
atau ”Payah” ketika ada anak yang menurut kita berbuat kurang menyenangkan.
Misalnya pipis semaunya, menarik-narik baju kita yang telah rapi, dan lainnya.
Bagaimana agar lisan selalu terjaga? Semua diawali dengan menjaga
kebersihan jiwa. Membersihkan hati adalah upayanya. Sebenarnya apa yang
diucapkan seseorang itu menggambarkan isi hatinya. Jika para orangtua berhati
bersih maka kata-kata yang diucapkan adalah baik dan bermakna. Anak-anak pun
akan mencontohnya.
Sebaliknya, kata-kata yang kotor dan tanpa makna akan mudah meluncur
dari mulut orang-orang yang kotor hatinya. Misalnya, memanggil anak dengan
panggilan buruk, mengumpat anak dengan istilah-istilah kasar. Dan itu jelas
berpengaruh buruk bagi anak-anak yang belum banyak dosa.
Persoalan menjaga lisan juga menyangkut kebiasaan. Kalau kita berusaha
selalu berkata yang baik dan benar, insya Allah kita akan terbiasa dengan
perkataan yang baik dan membawa kemanfaatan. Rasanya sangat berat untuk
mengucapkan kata-kata jelek dan tidak beraturan. Adapun orang yang sudah terbiasa
mengucapkan perkataan buruk dia akan enteng saja berkata yang jorok dan jauh
dari kebaikan.
Mari kita berusaha membiasakan diri dengan kalimah thayibah (kata-kata
yang baik). Anak-anak juga kita ajari demikian. Jika akan mengerjakan sesuatu,
kita tuntun anak-anak membaca bismillah. Ketika mendapat nikmat: Alhamdulillah. Jika
berjanji jangan lupa mengucap insyaAllah. Berbuat salah segera
mengucapkan Astaghfirullah. Saat bersin membaca Alhamdulillah,
ketika ada musibah mengucap Innalillahi wainna ilaihi rooji’uun.
Begitu seterusnya.
Bagi yang terbiasa dengan kata-kata yang buruk, maka akan berat rasanya
jika harus mengucap kalimah thoyibah. Malahan dia akan terasa
ringan mulutnya saat mengucapkan kata-kata jorok, tanpa makna, dan bikin resah.
Memanggil anak dengan nama hewan dianggap hal yang lumrah. Mengumpat sambil
berkata-kata kasar seperti tiada masalah. Na’udzubillah.
Upaya menjaga lisan yang lain adalah dengan memperhatikan situasi dan
kondisi serta tidak berlebih-lebihan. Kata-kata yang sebenarnya baik tapi jika
diucapkan dalam situasi dan kondisi yang tidak tepat bisa bernilai buruk.
Begitu juga dengan kata-kata yang berlebihan, kerapkali membuat anak-anak tidak
nyaman.[]
M. Sutrisno
Ketua Komite Sekolah SDIT Insan Utama, Kasihan Bantul
Aktivis Yayasan Pusat Dakwah & Pendidikan
“Silaturahim Pecinta Anak-anak” (SPA) Indonesia
|
Post a Comment