Paradigma Proses Terbaik
“Sepanjang
masa kenabiannya yang pendek, yakni 23 tahun, ia telah mengubah Jazirah Arab dari paganisme dan pemuja makhluk
menjadi pemuja Tuhan yang Esa, dari peperangan dan perpecahan antarsuku menjadi
bangsa yang bersatu, dari kaum pemabuk dan pengacau menjadi kaum pemikir dan
penyabar, dari kaum tak berhukum dan
anarkis menjadi kaum yang teratur, dari kebobrokan ke keagungan moral. Sejarah manusia tidak pernah
mengenal tranformasi suatu masyarakat sedahsyat ini.
Bayangkan, ini terjadi hanya dalam
kurun waktu sedikit lebih dari dua dekade”. Ini adalah penuturan objektif seorang
pemikir berkebangsaan Inggris, Sir George
Bernard Shaw, terhadap capaian luar biasa Rosululloh SAW dalam membangun
peradaban Islam.
Memang, suatu peradaban hanya bisa dibangun melalui
proses terbaik. Islam memberikan proses terbaik itu, sehingga siapapun yang
bersentuhan dengannya secara benar akan melejit potensinya secara luar biasa. Sejarah
mencatat bahwa mereka yang semula bukan siapa-siapa, melalui proses terbaik itu,
menjelma menjadi pribadi-pribadi mulia yang berperan besar dalam membangun
kejayaan peradaban Islam. Alloh SWT menyebut mereka, terutama generasi pertama
Islam, sebagai generasi terbaik (QS. 3:110).
Paradigma atau cara pandang proses terbaik perlu
dimiliki oleh siapapun, terlebih bagi mereka yang terlibat dengan dunia
pendidikan. Paradigma ini mempengaruhi berbagai kebijakan suatu institusi pendidikan.
Dengan paradigma ini, institusi pendidikan akan mengorganisasikan semua sumber
daya yang dimiliki untuk menciptakan proses terbaik yang menjamin setiap anak atau
peserta didik dapat mengembangkan diri secara optimal, apapun potensinya.
Paradigma proses terbaik juga mempengaruhi bagaimana
sekolah, terutama sekolah dasar, menyeleksi peserta didik. Dalam hal ini
sekolah tidak akan melakukan proses seleksi yang sangat ketat hanya berdasarkan
tingkat “kematangan” anak yang seringkali hanya diukur dengan instrumen yang bersifat
kognitif. Biasanya, seleksi demikian dimaksudkan untuk memperoleh input terbaik.
Dengan input terbaik tersebut diharapkan diperoleh output atau lulusan terbaik.
Sebaliknya, sekolah akan mengembangkan kesadaran penuh bahwa sekolah bukanlah
perusahaan yang hanya akan menerima input terbaik dengan kualifikasi tinggi,
melainkan sebagai tempat belajar. Oleh karenanya, wajar bila anak memiliki
kekurangan dan melakukan kesalahan dalam proses belajar mereka. Sekolah adalah
tempat terbaik bagi anak yang semula belum bisa menjadi terampil, yang semula
belum matang menjadi dewasa. Lagi pula perlu disadari bahwa sekolah yang hebat
bukanlah sekolah yang menghasilkan lulusan atau output yang hebat bila memang
mereka berasal dari input yang hebat, melainkan sekolah yang mampu melejitkan
kemampuan anak dengan potensi apapun.
Dalam konteks pembelajaran, dengan paradigma proses
terbaik, guru akan menghindari cara instan dan mekanistik dalam melakukan
proses pembelajaran, misalnya dengan meminta anak untuk sekedar menghafal tanpa
makna, melainkan akan menciptakan proses pembelajaran yang bermakna. Dalam hal
ini, pembelajaran dimaknai sebagai proses kreatif siswa dalam membangun
pengetahuan mereka sendiri. Proses kreatif itu itu berujud aktivitas-aktivitas seperti
mencoba, mengeksplorasi, mengajukan pertanyaan, mengkreasi strategi sendiri
untuk menyelesaikan masalah, mengajukan dugaan serta mengujinya, atau
menggeneralisasi. Melalui proses kreatif tersebut, diharapkan anak akan
memiliki kemampuan-kemampuan kreatif yang bersifat adaptif yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan anak kelak.
Dengan paradigma proses terbaik, guru tidak hanya ingin
mengajar anak berkemampuan lebih dan membenci ketika mendapati anak didik yang memiliki
potensi biasa atau kurang, melainkan rela dan tetap memberikan proses terbaik
kepada anak, apapun potensinya. Dengan cara
demikian, guru akan memiliki pengalaman lebih dalam melakukan proses
pembelajaran kepada anak dengan beragam potensi.
Paradigma proses terbaik perlu ditransformasi kepada
anak. Anak perlu memiliki kesadaran bahwa keberhasilan hanya dapat dicapai
melalui proses terbaik, bukan melalui cara yang bersifat instan. Dengan
paradigma ini, anak akan menghindari untuk memilih jalan pintas, melainkan
lebih memilih jalan kesungguhan untuk mencapai tujuan melalui proses pembelajaran
terbaik. Inilah cara pandang positif yang sangat penting untuk dimiliki anak
sebagai prasyarat untuk mencapai kesuksesan di kehidupan mereka kelak.
Dr. Ali
Mahmudi, Dosen Ilmu Matematika Universitas Negeri Yogyakarta
Foto dsusetyo.wordpress.com
Post a Comment