AGAR ANAK SUKA KE MASJID
“Faza
ini selalu shalat jama’ah di masjid lho
Pak,” demikian kata seorang bapak. Ia membanggakan putranya kepada guru di sekolah
tempat anaknya belajar. Faza yang masih kelas tiga SD ini juga pernah bercerita
kepada gurunya bahwa ia senang sholat di masjid dekat rumahnya. Ia selalu datang
paling awal sehingga bisa bermain sebelum azan. Kemudian ia mengumandangkan azan
maghrib dan berdzikir sepuasnya.
Kalimat
“Saya senang di masjid” yang datang dari seorang anak, adalah kalimat yang
sangat diharapkan oleh orangtua. Kalimat yang bisa dibanggakan. Itu hidayah, tetapi
kita percaya, pasti ada kondisi yang melatarbelakangi sehingga anak senang berada
di masjid. Ya, senang di masjid. Karena mungkin juga anak senang di masjid
bukan karena mengejar keuntungan duapuluh tujuh derajad. Tetapi karena ia
memang merasa nyaman di masjid.
Guru
di sekolah, orangtua di rumah, dan anggota jama’ah masjid di masyarakat adalah
para pencipta kondisi. Ketiganya sangat menentukan bagi anak-anak untuk senang
berada di masjid. Pada tulisan ini, kita akan lebih menyoroti peranan masjid
agar anak-anak merasa nyaman di dalamnya.
Takmir
masjid atau Badan Kesejahteraan Masjid setempat hendaknya mempunyai visi
pendidikan, yakni bagaimana agar anak tidak asing dengan masjid, suka ke masjid,
sehingga terbiasa beraktivitas di masjid. Beberapa di antaranya yang bisa
diupayakan adalah;
Pertama,
ada yang menarik bagi anak-anak. Misalnya di halaman masjid ada sarana
bermain, seperti ayunan,
jungkat-jungkit. Ada perpustakaan dengan koleksi bacaan anak-anak. Fasilitas
ini bisa dimanfaatkan oleh anak di sekitar waktu sholat sehingga tidak
membutuhkan pengawas atau penjaga yang selalu ada sepanjang waktu.
Kedua,
penerimaan jama’ah dewasa. Seluruh
anggota jama’ah dewasa memahami tentang visi pendidikan, bahwa sejak kecil anak
perlu dibiasakan berada di masjid.
Mungkin ada jama’ah yang merasa ibadahnya terganggu oleh keberadaan
anak-anak. Anak membuat gaduh di masjid. Menerima keberadaan anak berarti
menerima suara dan tingkahnya. Yang diperlukan adalah kerjasama atau pengertian
dari orangtua anak. Ketika shalat berlangsung, orangtua bertanggung jawab atas
anak masing-masing agar tidak menimbulkan kegaduhan. Berarti keberadaan anak di
masjid harus disertai orangtuanya atau familinya yang dewasa.
Penting
memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengumandangkan azan. Muadzin masjid harus
bias mendorong anak-anak untuk berlatih azan dan memberi kesempatan kepada
mereka untuk mengumandangkan azan.
Ketiga,
sarananya sesuai untuk anak. Jika masjid bervisi pendidikan, maka fasilitas
yang disediakan pun bisa dimanfaatkan oleh anak dengan nyaman dan tidak
membahayakannya. Beberapa di antaranya: anak tangga masuk masjid tidak terlalu
tinggi sehingga mudah dilalui anak dan tidak membahayakan, fasilitas wudu yang
terjangkau anak, tidak licin, dan dapat mencegah anak membawa najis serta alat-alat
pengeras suara yang harus aman dari jangkauan anak-anak.
Keempat,
ada temannya. Teman merupakan daya tarik yang kuat. Beberapa kepala keluarga
yang mempunyai anak-anak seusia hendaknya bersepakat membawa anak-anaknya
ketika ke masjid sehingga anak-anak lebih bersemangat karena ada teman
“bermainnya”.||
Slamet Waltoyo, Kepala Sekolah MI Al Kautsar Sleman Yogyakarta
gambar : merdeka.com
Post a Comment