Di Masjid Hatiku Tertaut


Dengan kedua anaknya dibonceng di jok belakang, Pak Saiful mengayuh sepeda kumbangnya penuh semangat. Anak beranak itu begitu ceria menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Sesampai di masjid, tak banyak jamaah yang ada di sana. Hampir selalu begitu. Menurut pengamatannya, jumlah jamaah yang minim bukan hanya terjadi di masjid dekat rumahnya, melainkan menjadi gejala yang umum di banyak masjid lainnya.
Di sisi lain, ia melihat bahwa dibanding masa lalu, masjid-masjid kini memiliki bangunan yang lebih megah dan tidak jarang dengan arsitektur yang indah. Namun, dalam keindahan itu,  masjid  menjadi tempat yang sunyi dari jamaahnya sendiri. Ia hanya ramai satu tahun sekali pada (awal) Ramadan dan satu pekan sekali saat shalat Jumat.
Dulu ia sering menggerutu dengan kondisi yang ada. Ia bertanya setengah menggugat, ke manakah umat yang lain? Di manakah umat yang dulu amat gigih mencari dana pembangunan masjid ini, bahkan sampai meminta bantuan yayasan luar negeri? Sedang apakah para haji yang  sering begitu heroik menceritakan perjuangannya untuk mendapatkan sejengkal tempat shalat di Masjidil  Haram?
Selain mengenai jumlah jamaah, ia juga menggelisahkan hal lain seperti organisasi takmir yang semrawut, bacaan imam yang tidak lepas dari surat “triple Qul”, kegiatan masjid yang jumud dari tahun ke tahun dan sebagainya. Bagaimana masjid menjadi pusat kegiatan pembinaan umat kalau keadaannya seperti itu? Kemakmuran masjid tampaknya menjadi sebuah idiom yang indah diucapkan tapi begitu jauh dari kenyataan.
Namun, lama kelamaan ia menyadari bahwa keluhannya tidak akan mengubah apa pun, malah mungkin bisa berdampak mengotori hati. Lalu, ia menyederhanakan cara berpikir untuk meringankan langkah ke masjid tanpa beban apa pun. Tanpa keluhan apa pun. Ia hanya ingin dirinya dan keluarganya, yang amat ia kasihi, selamat dunia akhirat. Sebuah ayat menyadarkannya. “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan(QS At-Tahrim: 6). Mengajak keluarganya memakmurkan masjid adalah salah satu cara menjauhkan mereka dari siksa api neraka.
Kini Pak Saiful telah memiliki “proyek” dengan anak-anaknya untuk memakmurkan masjid. Ia memilih untuk memulai dari dirinya sendiri. Tautan hatinya pada masjid  ia yakini akan dirasakan pula oleh anak-anaknya.  Keteladanan berkali-kali lipat lebih baik daripada ucapan tanpa tindakan. Tak perlu kiranya menghamburkan pernyataan verbal untuk menyuruh anak ke masjid tanpa ia sendiri melakukannya. Ia hanya perlu mengajarkan adab bagi anak-anak ketika di masjid agar kehadirannya tidak mengganggu kekhusyukan beribadah.
Ia tanamkan pada anak-anaknya bahwa pergi ke masjid adalah sesuatu yang menyenangkan. Di tempat ini, kebutuhan dasar manusia untuk berinteraksi secara transendental maupun sosial bisa terpenuhi. Perasaan bahagia, sebuah pencarian universal tiap manusia, bisa diperoleh di sini. Kadang manusia menempuh perjalanan panjang nan melelahkan untuk mencari kebahagiaan, sementara sebenarnya kebahagiaan itu begitu dekat dengan dirinya.
Ia juga melatih anak-anaknya untuk mengakrabkan diri dengan masjid di luar waktu shalat, seperti merawat tanaman hias atau membersihkan masjid untuk persiapan shalat jumat.
Tak pernah sekalipun ia memaksa anaknya untuk pergi ke masjid. Paksaan atau ancaman hanya akan membuat anak menjadi resisten dan memberontak. Lagi pula, bagaimana harus dipaksa kalau ketika waktu sholat tiba justru si anak yang lebih dulu berlari mengambil sarung dan pecinya?
Menjumpai masjid yang masih sunyi, kini pak Saiful tak lagi menggerutu.
Ia sangat berharap agar dapat istiqomah dan berdoa supaya saudaranya yang lain juga merasakan nikmatnya menautkan hati ke masjid.
Ia terus mengayuh sepedanya sembari bersenandung riang untuk dua buah hatinya...
 M. Edy Susilo
foto : panoramio.com
Powered by Blogger.
close