Hukuman yang Menggoda



Menjadi orangtua sungguh membutuhkan begitu banyak bekal dan kemampuan. Termasuk seni dalam  memberi umpan balik pada perilaku anak-anak. Tidak sedikit orangtua yang direpotkan dengan pertengkaran-pertengkaran anak-anak mereka. Bahkan kehebohan kadang sampai  memuncak. Saya jadi teringat cerita salah satu mahasiswa, yang kebetulan tim saya, di lembaga psikologi terapan yang saya pimpin waktu itu. Ia menceritakan tentang sakit hatinya jika mengenang sikap-sikap ayah-ibunya yang dirasa tidak adil dan berbeda perlakuan terhadap dirinya dan Kakaknya. Ia bercerita tentang jatah ‘lungsuran’ yang harus ia terima dari sang Kakak, sementara sang Kakak bisa meminta apa saja. Ia juga bercerita betapa dendamnya ia karena setiap ada pertengkaran, Kakaklah yang selalu dibela, diunggulkan dan dimenangkan. Tak jarang ia harus menerima hukuman fisik karena dipersalahkan oleh sang Ayah. Jelas saya menangkap gurat ‘dendam’ itu masih ada, bahkan di saat ia mulai memasuki usia dewasa. Yang berarti ia mulai harus menyusun langkah ke masa depan, meniti pejalanan karir, dan membangun rumah tangga serta siap melanjutkan peran sosial yang lebih luas, menjadi suami dan ayah. Sungguh disayangkan, jika berbagai efek di masa lalunya mengkontaminasi peran-perannya di saat mulai dewasa.
Layak untuk disadari oleh para orangtua, bahwa memberikan umpan balik pada perilaku yang tidak menyenangkan pada anak-anak layak dilakukan dengan cara-cara yang elegan, terhormat, dan mematangkan. Bukan dengan cara-cara yang justru semakin melemahkan dan memberi dampak merugikan di masa mendatang. Bukan berarti lantas kelihatan lemah dan tidak tegas, bukan! Salah satu hal yang penting diperhatikan dan dipahami, terkadang anak-anak menjadi bertingkah tidak menyenangkan dan cenderung tidak mentaati orangtua karena suatu masalah yang sedang dia alami. Anak dan kita sama-sama membutuhkan jeda. Ambil kesempatan untuk berbicara dengan dia dari hati ke hati. Mungkin ada keinginan dan harapan mereka yang tidak terungkap dengan kata-kata sehingga mewujud menjadi perilaku yang tidak kooperatif, cenderung mencari perhatian, dan sekan-akan memancing masalah. Menghargai keinginan dan harapan anak-anak menjadi pekerjaan yang layak diagendakan. Hal mendasar lain yang layak dipertahankan saat berkomunikasi dan memberi umpan balik adalah keyakinan positif tentang anak, keyakinan bahwa mereka memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik, keyakinan bahwa mereka memiliki potensi positif untuk belajar dan berkembang. Husnudzon (berpra sangka baik) pada anak-anak, bahkan di saat mereka tampak tidak menyenangkan. Hmm... sebuah tantangan yang tidak mudah namun sangat berdampak terhadap perubahan ke arah yang lebih baik. “Bunda percaya kamu bisa membedakan mana tontonan yang membuatmu mulia dan mana yang membuat hina. Dengan ilmu dan perasaanmu Nak, kamu dapat membedakan keduanya. Sekarang silahkan cari tayangan yang layak dilihat, terimakasih!” Semisal kalimat ini memiliki basis husnudzon yang cukup kuat di saat anak salah menentukan pilihan tayangan televisi yang ditontonnya.
Hal lain, memberikan umpan balik untuk perilaku yang tidak diharapkan membutuhkan kesabaran, ketenangan, kekuatan kata-kata bahkan yang lebih penting adalah  kesadaran akan tujuan respon yang kita berikan. Ambil waktu jeda untuk memusatkan peristiwa di hadapan kita dengan tujuan-tujuan terbaik. Terlebih dalam kerangka mewariskan nilai-nilai tauhid dan kebaikan ajaran Islam. Saya jadi geli ketika teringat suatu episode ‘umpan balik’ yang ‘menggoda’ terjadi di antara kami bertiga. Saya dan dua anak saya. Si Adik saat itu sedang begitu asyiknya memainkan lego barunya. Saat asyik-asyiknya, Kakaknya datang menggoda dengan gayanya yang membuat si Adik ‘kheki’. Sempat terjadi dialog di antara mereka, sampai kemudian si Adik setengah berlari sambil berteriak memanggil saya, “Bunda, Kakak ini loh, nakal, nggodain aku main.” Menyadari kalau si Kakak memang menggoda Adiknya, saya menyahut sambil menyambut si Adik, “Ya udah dek, Kakak DIJAUHIN dulu aja, sini Adek main dekat bunda ya.” Kata saya. “Rasain kamu Kak, tak JAUHIN!” Kata si Adek dengan garang dan sangat yakin bahwa ‘dijauhin’ olehnya adalah benar-benar sebuah hukuman yang menyiksa. Saya sempat melirik si Kakak yang bengong sebelum kemudian mengatakan, “Jangan ya Dek.. mau temenan sama Kakak ya..Kakak minta maaf ya,” melasnya. Aku tahu meski tampak lucu, si Kakak bersungguh-sungguh dengan perasaannya. “Tapi kamu yang baik ya sama aku”, Kata si Adek. Dan mereka mulai bermain dalam damai. Sesaat setelah mereka bermain aku tergoda untuk menggali dari Kakak tentang perasaan yang dialaminya. “Kak, gimana rasanya waktu Adek bilang, ‘Rasain kamu, tak jauhin!” tanyaku tenang. Sambil senyum  Kakak menjawab “ Ya gitu deh Bunda, rasanya gimana gitu..”. Ah, sepertinya aku tahu… || 

Pihasniwati, Direktur Lembaga Psikologi Terapan Metamorfosa, Yogyakarta, Dosen Prodi Psikologi Fakultas Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Powered by Blogger.
close