Menggunjing Itu Tidak Penting



Ada satu kegiatan mengasyikkan yang dipratekkkan banyak orang padahal sejatinya membawa kerugian. Kegiatan ini sering dianggap penting padahal jelas mengundang dosa.  Apa itu? Menggunjing atau ghibah.
Banyak orang gemar membicarakan orang lain dan terjebak dalam ghibah. Ada yang berdalih, membicarakan orang lain itu tidak apa-apa asal yang dibicarakan itu benar adanya. Wajar jika di banyak forum pertemuan banyak orang asyik menggunjing. Repotnya, di forum pengajian yang membahas tentang kiat menjaga lisan pun ada yang berani menggunjing ustadznya, panitianya, atau konsumsinya.
Apa sebenarnya yang dimaksud ghibah? Apakah kita tidak boleh sama sekali membicarakan orang lain? Bukankah saat rapat kita harus membicarakan orang lain? Ada penjelasan panjang lebar dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam soal menggunjing dalam sebuah Hadits riwayat Muslim.
Ringkasnya, Jika ada orang membicarakan aib orang lain dan itu benar adanya berarti orang itu sedang berbuat ghibah atau menggunjing. Jika yang dibicarakan itu ternyata tidak benar, maka disebut melakukan kebohongan atau berbuat fitnah. Ghibah dan fitnah sama-sama dilarang Allah dan Rasul-Nya.
“….Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain….” (Qs. Al-Hujuraat: 12). Di ayat itu digambarkan, orang yang suka menggunjing bagaikan memakan daging orang mati. Sungguh menjijikkan.
Ghibah jelas merugikan. Pelakunya sama saja menimbun penyakit hati yang kelak bisa semakin parah. Sayangnya, menggunjing sudah menjadi kebiasaan buruk bagi banyak orang termasuk bagi para orangtua dan guru. Ghibah dilakukan oleh berbagai kalangan, dipraktekkan dalam berbagai situasi dan tempat.
Lihat saja, banyak pegawai kantor yang asyik menggunjing teman sekantor. Betapa banyak ibu-ibu  yang suka ghibah  sembari menunggu anaknya yang TK bubaran sekolah. Ketika para ibu berbelanja tak jarang dilampiri menggunjing. Di beberapa forum arisan pun, menggunjing sering menjadi agenda yang dianggap penting.
Tak jarang ada beberapa orangtua yang asyik menggunjing saat  menunggui anaknya yang sedang bermain. Ada yang menyuapi si kecil sambil ghibah dengan tetangga. Ada yang asyik menggunjing saat sedang makan bersama keluarga, entah di rumah atau di warung makan.
Jika demikian halnya, jangan mudah menyalahkan kalau banyak anak-anak suka menggunjing orang lain. Boleh jadi mereka hanya mencontoh  para orangtua. Ingat, salah satu sifat dasar anak-anak adalah suka meniru. Para orangtua seringkali tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sering dicontoh anak-anak.
Repotnya, kadang ada beberapa orangtua yang asyik ngobrol bertema tentang keburukan anak-anak mereka. Padahal anak-anak yang dibicarakan ada di sekitarnya. Anak-anak yang polos itu pun merekam ‘ulah’ para orangtua mereka.
Marni, anak kelas 3 SD, mungkin bisa menjadi contoh kasus. Anak ini suka menceritakan apa-apa yang didengarnya dari para orangtua yang bergunjing. Ia pernah cerita kalau Bu Yayuk, tetangganya itu punya kejelekan begini, Ibu Fita punya kekurangan begitu. Yang lebih parah lagi, konflik ayah-ibunya diceritakan juga di depan teman-teman sekolah.
Lia dan Ina, anak kelas 4 SD, juga suka menggunjing teman: Si Uli nakal, Si Adi pelit, Si Ira cengeng, Si Ria sok bergaya, sebenarnya kedua anak itu bisa juga disebut nakal karena hobinya menggunjing. Tapi jangan asal menyalahkan mereka dulu. Lia dan Ina belajar banyak tentang ghibah dari orangtua mereka yang juga hobi menggunjing.
Menggunjing sungguh tidak penting. Ghibah jelas mengundang masalah. Jangan sampai kebiasaan ini dipraktekkan anak-anak kita. Para orangtua mesti selalu mengoreksi diri akan tingkah lakunya. Mari kita berusaha menjadi teladan yang utama. || 

M. Sutrisno, Dai dan Trainer, Ketua Komite Sekolah SDIT “Insan Utama” Kasihan Bantul, Pengajar di Pondok Pesantren “Surya Global Amanah” Yogyakarta.
Powered by Blogger.
close