Minimalkan Nonton TV, Maksimalkan Waktu Bersama Keluarga



TV merupakan media yang paling banyak dimiliki masyarakat. TV sudah bukan lagi barang mewah. Hampir setiap rumah terdapat TV. Bahkan ada yang memiliki lebih dari satu TV di rumah. Saking susah lepasnya dari TV, terkadang aktivitas sehari-hari pun tidak pernah bisa lepas dari TV. Kebersamaan dengan keluarga pun terkadang harus tetap dibersamai oleh TV. Ini masih mending, ada pula yang waktu bersama keluarga terampas oleh kotak hitam tersebut.
Terampas di sini bukan berarti sama sekali tidak ada waktu untuk keluarga. Ada kalanya sebuah keluarga sama-sama sedang menyaksikan TV, akan tetapi mereka hanya dekat secara fisik, tidak dekat secara hati. Pikiran dan fokus mereka tertuju pada kotak ajaib yang mereka saksikan. Apalagi jika dalam satu rumah terdapat lebi dari satu TV yang terletak di masing-masing kamar. Sudah pasti para penghuninya akan lebih memilih mengurung diri di kamar masing-masing sambil menyaksikan ‘sahabat’ setia mereka ini.
Teringat saya dengan penelitian ekonom dari MIT, Benjamin Olken, tentang pengaruh tayangan TV terhadap keluarga di Indonesia. Olken pernah mensurvei lebih dari 600 desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam penelitiannya, Olken membandingkan antara desa yang bisa menjangkau sedikit dengan desa yang bisa menerima banyak saluran televisi. Hasilnya cukup menarik. Setiap bertambah satu channel televisi yang bisa dilihat, maka rata-rata mereka menonton televisi lebih tujuh menit lebih lama. Perlu diingat, survei ini dilakukan saat hanya ada 7 stasiun televisi nasional waktu itu. Jadi bisa kita bayangkan jika survey tersebut dilakukan saat ini, maka durasi menyaksikan TV akan jauh lebih lama.
Namun ada lagi temuan yang tidak kalah menarik. Olken menemukan fakta bahwa di pedesaan dengan penerimaan sinyal televisi yang lebih bagus menunjukkan adanya tingkat partisipasi kegiatan sosial yang lebih rendah. Artinya, orang lebih suka menonton televisi daripada terlibat dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Selain itu, di pedesaan tersebut juga memperlihatkan tingkat ketidakpercayaan yang lebih tinggi di antara penduduk yang berakibat pada lesunya kerjasama perekonomian dan perdagangan.
Olken sebetulnya adalah orang yang sangat jarang menonton televisi. Akan tetapi dia merasa sangat heran ketika melihat tingginya adiksi dan betapa kecanduannya orang Indonesia terhadap kotak hitam tersebut. “I’ve been in many, many households in Indonesia that have a dirt floor, but they also have a television.” itulah salah satu ucapan yang mencerminkan keheranannya. Ironis memang.
Melalui hidup tanpa TV sama sekali mungkin memang bukan hal yang mudah. Namun bukan berarti mustahil. Jika meniadakan sama sekali memerlukan waktu yang relatif lama, maka setidaknya kita harus memulainya dengan mengurangi konsumsi nonton TV. Maksimalkan waktu untuk memperkuat kebersamaan dengan keluarga. Banyak orangtua memakai TV sebagai ‘pengasuh’ yang paling murah. Saat anak menangis, atau orangtua sedang repot, maka TV pun dijadikan teman agar anak diam dan kondusif. Ya, mereka memang diam kala menyaksikan TV. Namun tahukah kita jika saat itu kita sedang menjejalkan berbagai info kepada anak yang tidak kita seleksi baik dan buruknya?
Maka dari itu, cari kegiatan alternative yang dapat mengalihkan perhatian kita dari hasrat ingin nonton TV. Bisa dengan membaca bersama, pergi ke perpustakaan, berkebun, olahraga, menulis dan sebagainya. Atau kegiatan lain yang mampu mengasah kebersamaan, misalnya memasak, bertamasya, membersihkan rumah, menyelesaikan sederet aktivitas lain yang tertunda dan lainnya.||

Laylatul Fajriyah, Ibu rumah tangga, tinggal di Yogya
gambar : gambar.co

Powered by Blogger.
close