Tanamkan Tauhid Sejak Dini
Menurut Rousseau yang menjadi salah satu
rujukan dunia pendidikan, anak tidak layak dikenalkan tentang ketuhanan kecuali
jika telah mencapai usia 18 tahun. Mencermati pendapat Rosseau ini, tentu dahi
kita akan berkerut dan dengan tegas menyatakan konsep ini salah. Tauhid
merupakan pondasi paling penting di dunia pendidikan Islam. Inilah pondasi
kebesaran Islam dan muslimin. Maka, harus menjadi target. Keluarga muslim tidak
boleh terbalik lagi cara berpandangnya.
Pendidikan anak (tarbiyatul aulad) bukanlah dimulai dari semenjak kandungan,
sejatinya ia dimulai semenjak kita mencari pasangan hidup (suami/istri). Salah
satu pondasi pendidikan tauhid dimulai dari penanaman nilai-nilai tauhid kepada
sang anak, dan salah satu kunci keberhasilan pendidikan anak adalah tepatnya
metode yang diberikan saat mengenalkan sang anak kepada penciptanya, Allah
Ta’ala. Selain itu, teladan orangtua juga berperan penting mengantarkan anak
menjadi anak yang sholeh. Pendidikan tauhid tidaklah mudah, terutama di zaman
ini yang semakin tidak kondusif. Orang-orang semakin semakin mengutamakan
tontonan ketimbang tuntunan.
Masa usia dini sendiri merupakan masa
keemasan (golden age) bagi
perkembangan intelektual seorang manusia. Masa usia dini merupakan fase dasar
untuk tumbuhnya kemandirian, belajar untuk berpartisipasi, kreatif, imajinatif
dan mampu berinteraksi. Bahkan, separuh dari semua potensi intelektual sudah
terjadi pada umur empat tahun. Oleh karena itu, pendidikan dalam keluarga
adalah madrasah yang pertama dan utama bagi perkembangan seorang anak, sebab
keluarga merupakan wahana yang pertama untuk seorang anak dalam memperoleh
keyakinan agama, nilai, moral, pengetahuan dan keterampilan, yang dapat
dijadikan patokan bagi anak dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh penanaman tauhid
yang kokoh ketika beliau mengajari anak paman beliau, Abdullah bin Abbas, dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang
hasan, Ibnu Abbas bercerita : “Pada suatu hari aku pernah berboncengan di
belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku
akan mengajari engkau beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan
menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika
engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta
tolonglah kepada Allah”.
Adapula teladan lain yang diabadikan
dalam Alquran adalah Luqman. Kita akan ingat bagaimana Luqman Al-Hakim
mengajarkan anaknya agar tidak menyekutukan Allah. Disebutkan kisahnya oleh
firman Allah Ta’ala dalam surat
Luqman ayat 3: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya pada waktu
ia memberi pelajaran kepadanya : ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah. Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang
besar.’” Ibnu Katsir juga telah mengatakan dalam kitab tafsirnya bahwa Luqman
berpesan kepada putranya sebagai orang yang paling disayanginya dan paling
berhak mendapat pemberian paling utama dari pengetahuannya. Oleh karena itulah,
Luqman dalam wasiat pertamanya berpesan agar anaknya menyembah Allah semata,
tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Syirik disini diungkapkan dengan
perbuatan zhalim, mereka mencampur-adukkan iman mereka dengan kezhaliman, yakni
dengan kemusyrikan atau menyekutukan Allah dengan yang lain. Selanjutnya,
Luqman mengiringinya dengan pesan yang lain, yaitu agar anaknya menyembah
Allah semata dan berbakti kepada kedua orang tua sebagaimana yang disebutkan
dalam firman-Nya di surat al-Israa’ ayat 23:“Dan Rabbmu telah memerintahkan
supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” ||
Arif Budiman, Pemerhati dunia pendidikan
gambar : kolom.abatasa.co.id
Post a Comment