The Power of Words
Ada pemandangan yang mencuri perhatian kala
pertama kali mengajar. Di deretan bangku depan duduk seorang siswa.
Sekilas tak ada masalah dengan murid tersebut: diam dan tak banyak
gerak. Tetapi, setelah diamati beberapa saat,
tampak ada yang berbeda. Batinya bergejolak. Wajah anak itu pucat.
Tatapannya jugajauh ke depan. Kosong.
Tak begitu lama, tiba-tiba teman di belakangnya usil.
Teman itu bermaksud mengejeknya. Rona wajah murid itu
mendadak memerah. Dia tampak kalut. Ada gejolak amarah yang
menggelora yang tertahan. Namun, ketik adalam
‘bendungan’ amarah, tiba-tiba teman tadi menjebolnya
dengan ‘peluru’ kedua. Benteng pun jebol sambil bereaksi. Ucapan
pedas mengalir deras dari mulutnya. Matanya memerah. Nafasnya
tersengal. Suasana kelas diam sesaat. Belum cukup di
situ, tiba-tiba murid lain melemparkan potongan kertas
ke arah kepalanya. Sempurnalah. Amarahnya tumpah. Dia
menggerung dan membentak. Tangannya menggepal dan menggebrak meja.
Brakkkk!
Pertanyaan tadi terjawab dengan ‘drama’ lima menit yang
baru saja terjadi. Siswa tadi diintimidasi. Murid
tadi digoncang jiwanya. Ketenangannya diusik. Karena itu,
dia merasa tidak nyaman berada di kelas. Hatinya sumpek. Pikirannya kalut.
Pikirannya ingin terbang jauh meski tubuhnya masih ‘terpenjara’ dalam kelas.
Efeknya, dia tidak bisa berpikir jernih. Suasana kelas tak ubahnya
seperti terminal yang penuh calo dan kernet bus yang teriak-teriak. Benar
saja, ketika saya mengajukan pertanyaan yang sederhana, dia tidak bisa
menjawab. Bahkan agak tergeragap. Bingung. Padahal pertanyaan itu mudah: “Siapa
namamu?”
Suatu saat, saya bertanya padanya akan apa yang dirasakannya. Jawabanya bisa ditebak. “Nggak tahu Tadz. Saya seolah memiliki masalah yang begitu besar. Saya tak sanggup memikulnya,” kata anak itu dengan mata berkaca-kaca.
Suatu saat, saya bertanya padanya akan apa yang dirasakannya. Jawabanya bisa ditebak. “Nggak tahu Tadz. Saya seolah memiliki masalah yang begitu besar. Saya tak sanggup memikulnya,” kata anak itu dengan mata berkaca-kaca.
Apa karena ejekan itu? Apa karena intimidasi teman-temannya itu?
Jawabanya satu: Ya. Anak seusia dia, mustahil punya masalah besar layaknya
presiden yang memiliki seabrek masalah dari Sabang sampai Merauke. Dia
seharusnya hidup riang gembira seperti kanak-kanak yang lainnya. Belajar
dengan tenang. Tersenyum dan tertawa.
Apa yang terjadi pada anak tersebut tidak lain adalah karena
kata-kata. Ya, kata-kata negatif yang setiap hari, setiap dia belajar di kelas
dikonsumsinya dari teman yang mengusiknya. Menu tak sedap itu pun kini
telah menjadikannya sebagai sosok yang penakut, minder, dan tak percaya diri.
Jangan salah, setiap ucapan akan membekas. Terlebih kepada anak kecil yang
sedang mengalami pertumbuhan psikologis. Kata-kata itu akan merubah
karakternya. Itu adalah kekuatan kata-kata. The power of words.
Kata-kata bisa merubah segalannya.
Penelitian di Institute of Psychiatry di London, Inggris menunjukkan anak-anak yang diganggu dan diejek teman-temannya mengeluarkan sedikit hormon kortisol. Hormon yang berhubungan dengan tingkat stres. Anak yang mendapat perilaku bullying tersebut akan lebih memiliki banyak masalah dengan interaksi sosial dan perilaku agresif. Penurunan kortisol bisa terjadi pada anak 12 tahun yang mengalami perubahan struktur gen yang mengatur serotin, sebuah neurotransmitter yang terlibat dalam perubahan suasana hati dan tingkat depresi.
Sebagai seorang guru, kita tentu tahu bagaimana karakter anak didik. Hampir setiap hari kita berinteraksi dan mengetahui pertumbhan psikologi, dan intelektual mereka. Karena itu, kata-kata yang harus keluar dari mulut harus yang membuat anak didik dekat dan termotivasi untuk beribadah pada Allah Ta’ala. Kita harus sering mengucapkan kalimat yang indah, memotivasi, dan memberi semangat. Bukan justru mencemooh, dan menurunkan percaya diri mereka. Hal itu juga harus disampaikan pada anak didik agar mereka bisa menjaga pergaulan dan kata-kata mereka terhadap sesama.
Penelitian di Institute of Psychiatry di London, Inggris menunjukkan anak-anak yang diganggu dan diejek teman-temannya mengeluarkan sedikit hormon kortisol. Hormon yang berhubungan dengan tingkat stres. Anak yang mendapat perilaku bullying tersebut akan lebih memiliki banyak masalah dengan interaksi sosial dan perilaku agresif. Penurunan kortisol bisa terjadi pada anak 12 tahun yang mengalami perubahan struktur gen yang mengatur serotin, sebuah neurotransmitter yang terlibat dalam perubahan suasana hati dan tingkat depresi.
Sebagai seorang guru, kita tentu tahu bagaimana karakter anak didik. Hampir setiap hari kita berinteraksi dan mengetahui pertumbhan psikologi, dan intelektual mereka. Karena itu, kata-kata yang harus keluar dari mulut harus yang membuat anak didik dekat dan termotivasi untuk beribadah pada Allah Ta’ala. Kita harus sering mengucapkan kalimat yang indah, memotivasi, dan memberi semangat. Bukan justru mencemooh, dan menurunkan percaya diri mereka. Hal itu juga harus disampaikan pada anak didik agar mereka bisa menjaga pergaulan dan kata-kata mereka terhadap sesama.
Banyak kata motivasi yang bisa diberikan kepada anak. Kita bisa
menggunakan mahfudhot (kata mutiara Arab), seperti yang sering didengar:
“Man Jadda Wajada.” Siapa yang bersungguh-sungguh pasti dia dapat. Nah, anak
didik yang mendengar ini, pasti akan timbul motivasi mereka untuk sukses,
mencapai cita-cita yang diinginkan di masa depan. Insya Allah.||
Syaiful Anshor, Guru Madrasah, Tinggal di Yogya
Post a Comment