Jas untuk Calon Dokter




Beberapa hari menjelang penyumpahan dokter bagi anak kami yang kedua, saya dan istri terlibat dalam pembicaraan tentang pakaian jas yang diwajibkan bagi para dokter yang akan disumpah, termasuk anak kami. Meskipun tidak diucapkan, namun dari wajah dan nada bicara istri cenderung untuk membelikan setelan jas-celana baru. Mungkin ini merupakan sebuah wujud kebahagian dengan kerelaan mengeluarkan sejumlah uang untuk dibelikan jas baru bagi anak kami yang sebentar lagi akan disumpah menjadi dokter.
Tanpa mengatakan bahwa sebetulnya saya kurang setuju, saya mengisyaratkan bahwa untuk si calon dokter tersebut tidak perlu dibelikan jas baru, tetapi cukup mengenakan jas yang sudah ada. Kebetulan saya masih punya jas. Tidak baru memang, namun warnanya masih cukup bagus. Meskipun dalam hati, saya memperkirakan bahwa teman-temannya nanti pasti akan mengenakan jas baru karena saya kenal sekali siapa mereka.
Betul dengan apa yang saya duga, teman-temannya mengenakan setelan jas-celana baru. Pada saat mereka berdiri berjajar di depan mengucapkan sumpah, terlihat di antaranya ada seorang calon dokter dengan warna celana dan jasnya sedikit berbeda. Istri saya berbisik “Kita bersyukur ya, anak kita meskipun sudah besar, tidak banyak permintaan, masih mau mengenakan jas bekas ayahnya”.
Yang lebih membuat kami bersyukur lagi adalah pada saat dia mencoba pertama kali jas dan celana tersebut. Ketika mengetahui bahwa celananya sudah kekecilan, hal itu bukannya dipakai sebagai alasan untuk menolak dan kemudian minta dibelikan yang baru, tetapi justru dia mencoba mencari celananya sendiri yang warnanya sama. Tetapi seperti yang sudah diduga, pasti tidak ada celana yang warnanya sama persis. Akhirnya dia memilih celana yang warnanya paling mendekati, sehingga masih tetap nampak bedanya meskipun hanya sedikit, seperti yang terlihat pada saat dia berjejer di depan.
Kami bersyukur bahwasanya kesederhanaan, yang kami tanamkan semenjak kecil masih tetap membekas dan kami akan tetap mengupayakan hal ini, meskipun harus berbeda cara setelah mereka berkeluarga. Kesederhanaan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadi keteladanan kami dalam mendidik anak-anak. Beliau sebagai seorang pemimpin besar masih menggunakan pakaian yang sudah “robek”, bahkan beliau sendiri yang menjahitnya.  
Keteladanan Nabi, selain dalam kesederhanaan dan dalam hal kemandirian inilah yang kiranya dulu orangtua kami telah mendidik anak-anaknya untuk tidak tergantung pada orang lain dalam banyak hal, termasuk dalam pengadaan pakaian. Saya masih ingat sekali bagaimana dulu ayah saya membongkar celana pendeknya yang sudah tidak dipakai agar saya bisa membuat pola celana. Padahal waktu itu saya masih duduk di sekolah rakyat (sekolah dasar) kelas 6. Dengan pola celana tersebut, saya disuruh menempelkan pada kain bekas kebaya panjang ibu yang sudah dibongkar dengan ukuran diperkecil lalu digunting. Setelah dijahit oleh saya sendiri, maka jadilah celana pendek tersebut. Betapa senangnya saat itu, anak laki-laki sekolah dasar sudah bisa membuat celana pendek. Kalau itu anak perempuan mungkin mudah dipahami karena biasanya lebih tekun.
Saya tidak ingat bagaimana cara ayah waktu itu menyuruh untuk mengerjakan pekerjaan yang mestinya bagi anak seusia saya masih senang-senangnya bermain kelereng atau main game untuk saat ini. Tapi seingat saya waktu itu, mengapa kami tidak pernah merasa dipaksa oleh kedua orangtua, karena beliau berdua memang sudah mengkondisikannya. Kami delapan bersaudara sangat patuh, sehingga apapun keputusan beliau, kami tidak mempunyai keinginan untuk membantahnya. Ketika ayah menyuruh saya belajar menjahit dan membuat celana, saya menjalaninya tanpa mengeluh. Bermula dari membuat celana pendek, celana panjang, dan baju sendiri, akhirnya selama menjadi mahasiswa, menjadi dosen muda, bahkan sampai saat sebelum menikah, semua pakaian saya dan adik-adik, saya yang membuatnya, tidak perlu membeli. Mungkin hal ini juga yang melatarbelakangi mengapa saya menganjurkan istri untuk tidak membelikan jas baru bagi calon dokter kami. Wallahu a’lam bish-shawab.||
Pror. Dr. Ir. Indarto, DEA
foto : harianrakyatbengkulu.com

Powered by Blogger.
close