Kolom Prof In : “Ini untuk beli bakso…”
Beberapa
waktu yang lalu, saya naik taksi dengan seorang teman dari bandara Cengkareng
ke sebuah tempat pertemuan di Jakarta Pusat. Sesampainya di gedung pertemuan,
sesuai dengan kesepakatan, teman saya yang membayar taksi dan kepulangannya
nanti gantian saya. Pada saat teman tadi membayar ongkos kepada pengemudi, saya
melihat jumlah uang yang diberikan sama persis dengan jumlah yang tertera di
argo taksi. Dalam hati saya berkata, mengapa tidak dilebihkan agar abang
pengemudi tadi merasa senang.
Apakah memang
kebanyakan masyarakat kita memang seperti itu kalau membayar ongkos taksi? Uang
yang diberikan tidak dilebihkan, meskipun hanya sedikit. Saya teringat ketika berangkat tugas belajar bersama
empat orang karyasiswa Indonesia ke Perancis di pertengahan tahun 1980-an. Ketika pertama kali datang
di Nancy, kota pelajar yang berjarak 300 kilometer
sebelah timur Paris, kami dijemput oleh ketua
PPI (Persatuan Pelajar Indonesia). Karena dari Paris ke Nancy naik kereta api,
maka kami dijemput di Stasiun Nancy “Gare
de Nancy”. Meskipun Pak Ketua menjemputnya sudah dengan mobil, namun karena
kami berlima maka kami harus mencari tambahan satu taksi.
Kami
kaget, ketika sebuah mobil mewah menjemput kami, yang tidak lain mobil tersebut
adalah taksi yang kami pesan. Ternyata memang
taksi di sana rata-rata mobilnya mewah. Saya dengan dua teman termasuk yang
naik taksi tersebut. Sebelum kami masuk, dengan menggunakan bahasa Indonesia, Pak Ketua berpesan,”Nanti uang yang dibayarkan ke pak sopir, sebesar
angka yang di argo lalu ditambah dua atau tiga franc ya, dan pada saat
memberikan sambil bilang c’est pour boire
(ini untuk minum),”
Betul,
saat kami sudah sampai di asrama yang akan kami tempati, saya melakukan apa
yang dipesankan oleh beliau dan jawabnya pak sopir, “mercie beaucoup (terimakasih
banyak).” Saya terkesan dengan kejadian tersebut,
kebiasaan baik yang nantinya perlu saya bawa ke Indonesia. Hanya saya tidak
akan bilang c’est pour boire tapi,“Ini untuk beli
bakso”.
Ternyata
ada kebiasaan lain lagi yang berkesan pada kami. Pada suatu week-end kami diajak makan malam oleh
promotor di sebuah restoran. Orang Perancis
kalau makan malam bisa berlangsung lebih dari dua jam karena makanan yang
disajikan secara berturut-turut, bisa sampai lima macam, ditambah yang terakhir
minum kopi. Lagi pula selama mereka makan selalu disertai dengan obrolan.
Ketika makan sudah selesai dan dilakukan pembayaran, sebelum meninggalkan meja, promotor tadi
menaruh sejumlah uang di atasnya. Ketika saya tanyakan, memang itu kebiasaan
bagi mereka memberikan sejumlah uang kepada para pelayan yang ditaruh di atas
meja. Kami agak malu juga pada diri sendiri, di Indonesia yang masyarakatnya
mayoritas muslim tetapi tidak ada tradisi seperti itu.
Kepedulian
yang lain juga kami rasakan ketika kami keluar kota melaksanakan kunjungan
industri. Setiap tahun pemerintah Perancis memberikan kesempatan kepada kami,
mahasiswa asing program pasca sarjana dari berbagai negara yang mendapatkan
beasiswa darinya untuk melakukan kunjungan ke berbagai industri dan museum. Kegiatan
ini dikoordinasi oleh sebuah organisasi yang mengurusi semua kebutuhan hidup
mahasiswa asing yang berbeasiswa pemerintah Perancis, boursier du gouvernement francais, mulai dari beasiswa, asuransi, uang
buku, sampai apartemen atau asrama. Berhubung industri yang dikunjungi ada di
beberapa kota dan jumlah kami banyak maka harus menggunakan bis. Pada hari
terakhir, saat dalam perjalanan pulang, di dalam bis ada seorang dari panitia
yang orang Perancis tiba-tiba melepas topinya dan berjalan dari depan ke
belakang untuk minta kerelaan dari para peserta memberikan beberapa franc,
yang akan diberikan kepada sopir. Subhanallah, cukup banyak uang yang terkumpul.
Sekembalinya
ke Indonesia, kami sekeluarga berusaha mempertahankan kebiasaan tersebut. Bukankah Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam
juga
pernah bersabda, “Bersedekahlah walaupun dengan sebutir kurma,
karena hal itu dapat menutup dari kelaparan dan dapat memadamkan kesalahan
sebagaimana air memadamkan api” (HR. Ibnul Mubarok)||
Prof. Dr. Ir. Indarto, DEA
Pimpinan Umum Majalah Fahma
Post a Comment