Kolom Prof In : Oseng-oseng Pepaya Muda dan Kamar Minimalis
Suatu
sore sepulang dari kantor, saat saya masuk ke dalam rumah, terbau masakan yang
sedap. Lalu saya berkomentar pada istri yang saat itu sedang berada di depan komputer yang berada di ruang samping dapur, “Wah, baunya kok enak sekali, masak apa ini?” Mendengar
pujian itu, tersirat kegembiraan di wajah istri. Dia lalu bertanya, “Coba
ditebak, saya masak apa?”.
Begitu
terbau masakan tadi, sebetulnya saya sudah bisa langsung mengetahuinya, karena
saya adalah mantan mahasiswa yang waktu itu hampir
setiap hari harus masak sendiri. Bahkan istri balik minta pendapat, bagaimana
membedakan irisan buah pepaya muda dengan irisan buah labu jipang, yang
kebetulan saya beli keduanya di pasar sehari sebelumnya. Nampaknya istri keliru
memasukkan, sebetulnya yang ingin ditambahkan adalah irisan buah pepaya muda
tetapi keliru yang satunya.
Saya
jadi teringat ketika masih merantau kuliah di Yogya pada pertengahan tahun 1970-an. Sering saya bersama seorang teman satu
pondokan, yang sekarang menjadi pejabat tinggi eselon satu di salah satu kementerian di Jakarta, memasak sayur dari buah pepaya yang
masih muda. Hal ini kami lakukan dalam rangka untuk mengurangi pengeluaran tiap
bulannya agar pengeluaran bisa ditekan seminimal mungkin.
Buah
tersebut kami petik dari pohon yang ada di belakang rumah
pondokan. Kebetulan pepaya yang ditanam termasuk jenis yang besar, sehingga meskipun
hanya memasak satu buah, bisa untuk sayur makan siang dan malam selama 2 hari. Untuk
itu jenis masakan yang dipilih adalah oseng-oseng
karena semakin lama semakin enak.
Bila
mengenang pengalaman ketika masih mahasiswa, saya sangat bersyukur. Biaya bulanan yang diberikan oleh orangtua jumlahnya
pas-pasan. Itupun pengirimannya tidak sekaligus untuk sebulan, melainkan tersedianya
berapa itu yang dikirim sehingga kami harus berupaya untuk bisa hidup dengan
biaya minimal. Untunglah pada saat itu, kuliah di jurusan Teknik
Mesin tidak banyak pengeluaran ekstra karena tidak banyak praktikum yang
membutuhkan bahan habis pakai. Tidak seperti kuliahnya istri atau anak bungsu
kami di jurusan Farmasi atau anak kedua yang di Fakultas Kedokteran, yang banyak membutuhkan bahan
untuk praktikum. Pengeluaran yang ada hanya untuk makan dan membayar sewa kamar
pondokan. Tidak ada biaya untuk transportasi, karena kuliah dan aktivitas yang
lain cukup naik sepeda, meskipun untuk ke kampus jaraknya cukup jauh dan kadang jadwal kuliahnya
pagi dan sore.
Sewa
kamar juga tidak mahal karena lokasi pondokan jauh dari kampus dan kondisi kamarnya
juga sangat sederhana. Tanpa pintu kamar karena sekatnya hanya dari kain
sehingga keluar-masuk kamar cukup dengan menyingkap kain tersebut. Bahkan kalau
siang, sekat kain dibuka oleh ibu kos sehingga fungsinya sebagai kamar berubah,
menyatu dengan dapur dan ruang makan. Akibatnya semua barang yang ada di kamar
akan terlihat semua, untungnya kami tidak mempunyai apa-apa.
Kesederhanaan
kamar ini, termasuk tidak adanya meja untuk belajar, tidak ada kursi, tidak ada
almari, jadi betul-betul minimalis. Tempat tidur pun tanpa kasur. Agar agak sedikit empuk, maka
di bawah tikar diberi beberapa lembar karton bekas. Tempat pakaian tidak perlu
almari karena hanya beberapa lembar, cukup sebuah rak buku yang samping kiri, kanan dan belakangnya ditutup karton. Rak yang atas
untuk pakaian, yang bawah untuk menaruh buku catatan kuliah. Pengeluaran untuk
beli pakaian juga tidak ada karena saya menjahit sendiri baju maupun celana
yang kainnya sudah diberi oleh kakak. Bahkan kadang pakaian pun
juga didapat dari teman sepemondokan, meskipun tidak baru.
Kami
sangat bersyukur dengan segala keterbatasan yang telah Allah berikan pada kami selama studi sejak kecil. Tanpa
pengalaman tersebut, saat ini tidak mungkin kami mampu menjalankan secara
ikhlas tugas-tugas yang diamanahkan sebagai pelayan masyarakat kampus dengan
berbagai latar belakang dan karakter. Kami selalu memotivasi mahasiswa,
terutama mereka yang kurang beruntung secara finansial.
Saya katakan bahwa keterbatasan adalah sebuah anugerah yang harus kita syukuri sebagai
bekal untuk meraih masa depan. Wallahu
a’lam bish-shawab.
Penulis Prof. Dr. Ir. Indarto, DEA
Post a Comment