Mengajak Anak Bermasyarakat dan Mengenal Lingkungan


Aspek utama lanjutan yang harus dilakukan orangtua dalam memberikan pendidikan anak setelah lahir adalah memanfaatkan indera yang sudah dipunyai anak, sekaligus memberi asupan kepada hati. Kita mengacu QS An Nahl 78: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Substansi “pendengaran, penglihatan, dan hati” dimantapkan dalam beberapa surat lainnya, bahkan ada kondisi yang perlu kita cermati, yaitu QS Al Baqarah 7 : “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.
Yang dimaksud “mengunci mati hati dan pendengaran mereka” adalah yakni orang itu tidak dapat menerima petunjuk, dan segala macam nasehatpun tidak akan berbekas padanya. Sedangkan yang dimaksud “penglihatan mereka ditutup” adalah mereka tidak dapat memperhatikan dan memahami ayat-ayat Alquran yang mereka dengar dan tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka lihat di cakrawala, di permukaan bumi, dan pada diri mereka sendiri.
Betapa kewajiban orangtua dalam mengelola pendengaran, penglihatan, dan hati anak. Masalahnya, bagaimana kita memulai dan mengawalinya, apakah ada ilmu khusus, apakah ada kiat jitu, apakah ada resep manjur untuk melakukannya.
Pertama, kita yakini, bahwa rumah dan keluarga sebagai madrasah pertama dan utama anak menyerap ilmu agama, sebagai sekolah awal menerima ilmu umum. Orangtua, saudara dan keluarga, khususnya ibu, sebagai guru pertama, pendidik utama bagi tumbuhkembangnya anak.
Kedua, perhatikan adab bertetangga. Firman Allah dan sunnah Rasul, artinya orangtua mengajak anaknya keluar dari rumah, tidak hanya sibuk dan hidup di rumah saja. Mengenal tetangga sebagai awal rangkaian bermasyarakat.
Banyak pasangan suami istri menggendong bayinya, biasanya anak pertama, berjalan kaki santai di lingkungan tempat tinggalnya. Bayi diajak berinteraksi dengan alam, mengenal lingkungan, bertemu tetangga. Mata dan kulit anak berkomunikasi dengan sinar matahari pagi, menghirup udara segar, merasakan sentuhan angin, mendengar sapaan tetangga.
Sejalan bertambahnya usia anak maupun jumlah anak, anak sudah bisa diberi tanggungjawab pekerjaan rumahtangga. Membeli gula pasir di warung terdekat, membagi rezeki pangan ke tetangga. Membuang sampah yang sudah dimasukkan ke kantong plastik ke bak sampah. Acara tingkat RT, gotong royong bersihkan got, ajak anak walau hanya menonton.
Ketiga, ajak anak ke alam terbuka untuk lebih mengenal ciptaan Allah. Kenalkan unsur alam, nama pohon, nama binatang. Kenalkan juga kehidupan masyarakat yang mungkin beda atau nampak khas. Diperkuat pengalaman naik turun bukit kecil, masuk sungai, berjalan di atas rumput, di bebatuan, meniti pematang sawah, akan mempengaruhi daya nalar dan imajinasi anak.
Mengenal ciptaan-Nya secara tak langsung kita juga mengenalkan Sang Pencipta. Nilai Islami sudah bisa dikenalkan dan ditanamkan sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan. Mengenal lingkungan, dari keluarga, tetangga sampai yang lebih luas dan jauh, membina anak untuk mengenal dirinya dan bisa membawakan diri dalam pergaulan.
Memasuki dunia pendidikan formal, anak merasa memasuki dunia baru, lepas dari orangtuanya. Anak sulit bergaul dengan teman sebayanya, lebih runyam kalau sulit menerima pelajaran. Kondisi ini bisa diminimalisir atau diantispasi dengan mengikutkan anak ke pendidikan agama.
Jika orangtua mengelola pendengaran, penglihatan, dan hati anak dengan ikhlas, cerdas dan berkelas, insya Allah, pondasi keislaman anak sudah cukup stabil dan siap memasuki laga kehidupan.||

Herwin Nur
Penulis lepas,
Tinggal di Tangerang


Powered by Blogger.
close