Pelajaran di Balik Hujan
Musim hujan telah tiba. Datangnya
hujan tak bisa diduga. Kala pagi hingga menjelang siang, mentari begitu terik
mendera, tiba-tiba bisa berganti mendung dan hujan deras. Tak jarang hujan
turun saat anak pulang sekolah.
Banyak anak yang justru gembira saat
hujan turun sewaktu pulang sekolah. Mereka langsung membiarkan dirinya diguyur
air hujan. Ya, bermain hujan-hujanan sambil berjalan atau berlarian pulang ke
rumah. Alhasil, mereka pun pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup.
Sebagian orangtua merespon anak yang pulang dalam keadaan
basah kuyup dengan ungkapan gembira. Bahkan sebagian ada yang bangga, “Wah,
anakku telah datang. Hebat, hujan saja
tak mampu menyurutkan langkah dan keberanianmu. Kamu memang anak yang hebat!”
Akan tetapi ada sebagian lainnya yang segera menyambut anak
dengan sejumlah pertanyaan, baik secara langsung kepada anak maupun
tidak. "Aduuh, kenapa kamu sampai basah kuyup begini? Tadi pas mau
berangkat sekolah kan ibu sudah bilang bawa payung. Kenapa kamu nggak bawa? Coba kalau tadi bawa payung, kamu tidak
sampai kehujanan seperti ini kan? Makanya, lain kali dengar kata Ibu,” Atau ada
juga yang berkata, “Aduh..., kasihan sekali kamu,
kehujanan sampai basah kuyup seperti ini. Pasti kamu kedinginan, ya?" Bahkan ada pula
yang berujar, "Aduuh, Pak. Tadi kenapa Adik nggak disuruh bawa payung? Tuh
lihat…! Adik kehujanan. Mbok lain
kali perhatikan dong saya bilang apa!”
Kalimat-kalimat tersebut memang mengekspresikan perasaan ibu
yang khawatir terhadap anak karena besarnya perasaan sayang, Akan tetapi
tahukah kita bahwa efeknya bagi anak ke depan justru akan membuatnya tidak
memiliki kekuatan jiwa.
Mengatakan kalimat seperti itu, menurut pakar parenting,
Mohammad Fauzil Adhim, akan membuat anak merasa tertekan oleh
"kesalahan-kesalahannya" di saat dia masih merasa kedinginan. Dengan
kondisi seperti ini, otomatis jiwa anak masih belum siap dengan segala
pertanyaan dan komentar. Kita sebagai orangtua saja terkadang merasa tidak
nyaman ketika baru pulang dari suatu aktivitas, kemudian langsung diserbu
dengan berbagai pertanyaan.
Selain itu, anak akan belajar untuk mengasihani dirinya sendiri
sehingga ia melatih dirinya untuk tidak berani menghadapi hujan dan tidak tahan
terhadap "rintangan-rintangan kecil" yang ia jumpai, bahkan yang
belum ia jumpai sekalipun. Ia juga tidak
bisa menjadi pribadi cemerlang tanpa fasilitas, dimulai dari fasilitas payung.
Ia hanya akan menjadi manusia biasa-biasa saja sebatas fasilitas yang sanggup
ia dapatkan dari orangtua. Akibatnya, biaya mendidik akan sangat mahal.
Efek ini tentu akan berbeda dengan kalimat pertama. Mari kita
lihat kembali kalimat pertama di atas. Ungkapan rasa kasihan dari ibu tidak
ditunjukkan dengan kata-kata kasihan ataupun iba, tetapi dengan kata-kata yang
menunjukkan kegembiraan ibu melihat anaknya datang. Kalimat seperti ini
memberikan efek yang lebih membesarkan hati dan menguatkan semangat. Apalagi
kalau diikuti dengan tindakan memberikan handuk. Tubuh yang basah akan kering
dengan usapan handuk, bukan dengan omelan. Ditambah lagi jika ibu mau
mengantarkannya ke kamar mandi dan memberinya minuman hangat. Kemudian menemaninya
sambil mendengar cerita-cerita dari anak seputar kesehariannya tadi. Sikap
seperti inilah yang menghangatkan jiwa anak. Bukan kata-kata penyesalan dari
Anda lantaran anak tidak membawa payung atau jas hujan. Alhasil,
komunikasi kita sehari-hari mempengaruhi kematangan anak, mempengaruhi
pendidikan anak.||
Arif Wicaksono, Pemerhati dunia anak, tinggal di Yogya
Post a Comment