Penghambat Qiyamul Lail


Ibadah malam adalah sunnah yang utama. Rasulullah sendiri tidak pernah melewati malam-malamnya, melainkan selalu dihiasinya dengan qiyamul lail. Bahkan, satu hadits meriwayatkan, apabila qiyamul lail, Rasulullah melakukannya dengan penuh kesungguhan, hingga bengkak kedua tapak kakinya.
Hal ini menunjukkan bahwa qiyamul lail adalah momentum penting, yang seyogyanya setiap Muslim tidak melalui malam, kecuali dengan mengikuti kebiasaan mulia Rasulullah tersebut. Di dalam Al-Qur’an secara eksplisit Allah Ta’ala menegaskan umat Islam untuk bangun di tengah malam. “Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari” (QS. 73: 1-2).
Qiyamul lail Allah tegaskan adalah momentum yang baik untuk menyerap makna Al-Qur’an secara lebih berkesan, sehingga jiwa dapat merasakan ketenangan dan kenyamanan kala membaca Al-Qur’an. “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat dan bacaan di waktu itu lebih berkesan” (QS. 73: 6).
Sementara itu, pada ayat yang lain Allah menjelaskan maksud dari diperintahkan qiyamul lail ini. “Dan pada sebagian malam hari shalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji” (QS. 17: 79).
Namun demikian, ibadah ini tergolong tidak mudah untuk diamalkan. Apalagi jika memang niat dan upaya yang dipersiapkan untuk bisa qiyamul lail tidak benar-benar maksimal. Utamanya dalam hal menjaga hati. Sebab ternyata, di antara sekian banyak penghambat seorang Muslim bisa qiyamul lail satu di antaranya adalah berprasangka buruk.
Hal inilah yang dialami oleh ulama sufi Sufyan Al-Tsauri sebagaimana termaktub dalam kitab Mi’atani Hikmah Min Hikam Ash-Shahabah wa Ash-Shalihin.
Suatu ketika Sufyan Al-Tsauri berkata, “Aku terhalangi untuk melakukan qiyamul lail selama lima bulan karena dosa yang telah aku perbuat.” Dikatakan, “Dosa apa itu?” Ia menjawab, “Aku melihat seorang laki-laki menangis tatkala shalat, lalu aku katakan, “Ia adalah orang yang riya.”
Dengan demikian, satu di antara syarat utama untuk seorang Muslim terhindar dari penghambat qiyamul lail adalah tidak berprasangka buruk terhadap siapa pun,lebih-lebih terhadap mereka yang melakukan amal kebajikan.
Jadi, selain tidak melakukan maksiat dhohir, seperti melihat sesuatu yang diharamkan, atau mendengarkan sesuatu yang haram atau melakukan perbuatan haram, memastikan hati dalam kondisi bersih juga merupakan syarat yang tidak boleh disepelekan agar kita benar-benar mampu mengisi sepertiga malam kita dengan qiyamul lail.
Dari apa yang dialami oleh Sufyan Al-Tsauri ini dapat diambil hikmah bahwa disunnahkannya qiyamul lail bagi umat Islam tidak lain agar dalam sehari semalam, hati senantiasa terjaga dari hal-hal yang tidak perlu apalagi haram, sehingga dengan begitu, semangat ibadah akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala.
Sungguh, suatu kerugian yang nyata apabila seorang Muslim, lebih-lebih yang mendakwahkan ajaran Islam, namun ia lewatkan malam harinya dengan tanpa qiyamul lail. Oleh karena itu, mari kita jaga hati kita dari berprasangka buruk, iri, dan dengki. Sebab, pangkal segala penghambat dari melakukan amal kebaikan adalah dari rusaknya hati yang dibiarkan.
*) Imam Nawawi, Aktivis Hidayatullah, penulis di www.hidayatullah.com, dan pimpinan redaksi Majalah Mulia, berbincang lebih jauh follow twitter @abuilmia
Powered by Blogger.
close