Di Mata Kita Ada Nikmat-Nya
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Ada peristiwa tentang seorang anak kecil di sebuah rumah sakit yang sangat besar. Beberapa minggu yang silam, ibunya terbaring karena melahirkan. Seorang bayi yang sehat dan lucu. Hari ini, anak kecil itu yang terbaring di sana. Beberapa dokter berdiri mengelilinginya; mengangkat kedua bola mata anak itu. Ada penyakit yang membuat para dokter tidak punya pilihan lain kecuali operasi.
Ketika anak itu siuman dari pengaruh obat bius, ia segera meraba-raba mencari bapaknya. Ia berkata, “Bapak, kapan kita pulang?”
Bapaknya terdiam. Hening sejenak, kemudian berkata, “Tunggulah, Nak sampai kamu sembuh.”
“Bapak, kenapa lama sekali?” kata anak itu, “aku sudah ingin pulang. Aku ingin lihat adik lho, Pak.”
Bapak itu terdiam. Ia hanya dapat menahan tangis dan perasaan yang bercampur adik. Ia ingin sembunyikan wajahnya, meski anaknya sudah tidak bisa melihat lagi.
Peristiwa ini—sebagaimana juga peristiwa-peristiwa lain—datang dan pergi begitu saja. Banyak pelajaran hadir di hadapan kita, tetapi lebih banyak yang hikmahnya hanya yang kita rasakan saat bercanda. Kita tak menemukan pelajaran apa-apa, karena amat sedikit yang kita renungkan. Padahal, betapa banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil kalau nurani kita masih bersih; atau kalau kita mau berhenti sejenak untuk merenung.
Maha Suci Allah. Alangkah banyak nikmat yang kita rasakan, tetapi alangkah sedikit yang kita syukuri. Alangkah banyak anugerah yang kita nikmati, tetapi alangkah seringnya kita lambat menyadari. Kita ingin mensyukuri dan mempergunakannya untuk kebajikan di jalan Allah, hanya ketika nikmat itu sudah tidak ada lagi bersama kita.
Masya-Allah, alangkah banyak nikmat yang tak sanggup kita syukuri. Bahkan menyadari pun tidak. Allah memberi kita tanpa menghitung-hitung, sementara untuk memuji-Nya sekali lagi, kita sudah sibuk menghitung pahala atas amal-amal kita yang tak seberapa. Padahal, di sisi Allah nikmat yang lebih besar. Jauh lebih besar.
Ingatlah ketika Rasulullah Saw Bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt memiliki seratus rahmat. Kemudian Ia turunkan hanya satu rahmat kepada jin, manusia, hewan, dan serangga di dalamnya. Dengan rahmat itulah mereka saling menyayangi dan kasih-mengasihi. Dengan rahmat itu pula, perempuan jahat pun menyayangi anaknya. Allah Swt menunda sembilan puluh sembilan rahmat-Nya, yang akan dikaruniakan bagi hamba-Nya pada hari Kiamat” (H.r. Bukhari & Muslim).
Hanya dengan satu rahmat inilah Allah beri kita nikmat berupa mata dan seluruh yang membuat kita mampu merasakan betapa nikmatnya garam. Kalau sedikit saja ujung lidah kita yang terluka, betapa berbeda dunia yang kita rasakan sekarang. Kalau sedikit saja alat penciuman kita rusak, betapa bunga-bunga itu tak lagi mewangi. Kalau sebentar saja kelenjar air liur tak berproduksi, betapa tak menariknya setiap masakan yang lezat.
Tetapi…
Alangkah sedikit yang kita syukuri. Padahal, dengan syukur itu, Allah akan berikan 99 rahmat yang masih tersimpan di sisi-Nya. Di dalamnya ada kasih yang abadi; kasih yang tak berbatas dari-Nya.
Astaghfirullah… alangkah sering kita lupa atas nikmat-nikmat yang diberikan-Nya. Kita lupa pada nikmat-Nya, lupa menggunakan nikmat-Nya dan bahkan lupa kepada Ia Yang Memberi Nikmat. Begitu banyak yang kita lupa, sampai-sampai kita lupa pada diri sendiri. Kita terasing di tengah keramaian karena ada yang sakit pada jiwa kita; dan ada yang gelap pada hati kita.
Kutulis ini di sini dengan satu harapan yang sederhana: semoga kita lebih ingat kepada-Nya sesudah banyak dosa kita perbuat. Kutuliskan ini bukan karena sudah mampu mengingat-Nya dengan sempurna, tetapi karena berharap semoga catatan sederhana ini terhitung sebagai langkah untuk mendekati-Nya.
Sumber FB Mohammad Fauzil Adhim
Ada peristiwa tentang seorang anak kecil di sebuah rumah sakit yang sangat besar. Beberapa minggu yang silam, ibunya terbaring karena melahirkan. Seorang bayi yang sehat dan lucu. Hari ini, anak kecil itu yang terbaring di sana. Beberapa dokter berdiri mengelilinginya; mengangkat kedua bola mata anak itu. Ada penyakit yang membuat para dokter tidak punya pilihan lain kecuali operasi.
Ketika anak itu siuman dari pengaruh obat bius, ia segera meraba-raba mencari bapaknya. Ia berkata, “Bapak, kapan kita pulang?”
Bapaknya terdiam. Hening sejenak, kemudian berkata, “Tunggulah, Nak sampai kamu sembuh.”
“Bapak, kenapa lama sekali?” kata anak itu, “aku sudah ingin pulang. Aku ingin lihat adik lho, Pak.”
Bapak itu terdiam. Ia hanya dapat menahan tangis dan perasaan yang bercampur adik. Ia ingin sembunyikan wajahnya, meski anaknya sudah tidak bisa melihat lagi.
Peristiwa ini—sebagaimana juga peristiwa-peristiwa lain—datang dan pergi begitu saja. Banyak pelajaran hadir di hadapan kita, tetapi lebih banyak yang hikmahnya hanya yang kita rasakan saat bercanda. Kita tak menemukan pelajaran apa-apa, karena amat sedikit yang kita renungkan. Padahal, betapa banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil kalau nurani kita masih bersih; atau kalau kita mau berhenti sejenak untuk merenung.
Maha Suci Allah. Alangkah banyak nikmat yang kita rasakan, tetapi alangkah sedikit yang kita syukuri. Alangkah banyak anugerah yang kita nikmati, tetapi alangkah seringnya kita lambat menyadari. Kita ingin mensyukuri dan mempergunakannya untuk kebajikan di jalan Allah, hanya ketika nikmat itu sudah tidak ada lagi bersama kita.
Masya-Allah, alangkah banyak nikmat yang tak sanggup kita syukuri. Bahkan menyadari pun tidak. Allah memberi kita tanpa menghitung-hitung, sementara untuk memuji-Nya sekali lagi, kita sudah sibuk menghitung pahala atas amal-amal kita yang tak seberapa. Padahal, di sisi Allah nikmat yang lebih besar. Jauh lebih besar.
Ingatlah ketika Rasulullah Saw Bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt memiliki seratus rahmat. Kemudian Ia turunkan hanya satu rahmat kepada jin, manusia, hewan, dan serangga di dalamnya. Dengan rahmat itulah mereka saling menyayangi dan kasih-mengasihi. Dengan rahmat itu pula, perempuan jahat pun menyayangi anaknya. Allah Swt menunda sembilan puluh sembilan rahmat-Nya, yang akan dikaruniakan bagi hamba-Nya pada hari Kiamat” (H.r. Bukhari & Muslim).
Hanya dengan satu rahmat inilah Allah beri kita nikmat berupa mata dan seluruh yang membuat kita mampu merasakan betapa nikmatnya garam. Kalau sedikit saja ujung lidah kita yang terluka, betapa berbeda dunia yang kita rasakan sekarang. Kalau sedikit saja alat penciuman kita rusak, betapa bunga-bunga itu tak lagi mewangi. Kalau sebentar saja kelenjar air liur tak berproduksi, betapa tak menariknya setiap masakan yang lezat.
Tetapi…
Alangkah sedikit yang kita syukuri. Padahal, dengan syukur itu, Allah akan berikan 99 rahmat yang masih tersimpan di sisi-Nya. Di dalamnya ada kasih yang abadi; kasih yang tak berbatas dari-Nya.
Astaghfirullah… alangkah sering kita lupa atas nikmat-nikmat yang diberikan-Nya. Kita lupa pada nikmat-Nya, lupa menggunakan nikmat-Nya dan bahkan lupa kepada Ia Yang Memberi Nikmat. Begitu banyak yang kita lupa, sampai-sampai kita lupa pada diri sendiri. Kita terasing di tengah keramaian karena ada yang sakit pada jiwa kita; dan ada yang gelap pada hati kita.
Kutulis ini di sini dengan satu harapan yang sederhana: semoga kita lebih ingat kepada-Nya sesudah banyak dosa kita perbuat. Kutuliskan ini bukan karena sudah mampu mengingat-Nya dengan sempurna, tetapi karena berharap semoga catatan sederhana ini terhitung sebagai langkah untuk mendekati-Nya.
Sumber FB Mohammad Fauzil Adhim
Post a Comment