Kolom Prof In : “Dokter kan Harus Ramah, Pa….”
Oleh Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A
Siang
menjelang sore,
kami
sekeluarga pulang dari acara pernikahan saudara sepupu. Sebelum sampai di
tempat tinggal yang terletak di pinggiran kota, kami melewati rumah-rumah
tetangga. Beberapa
orang terlihat berada
di luar rumah. Saya perhatikan, anak
laki-laki
kami kedua, Bayu, yang kebetulan
memegang kemudi membuka jendela
mobil dan menyapa mereka. Menyaksikan hal itu, saya berkomentar “Wah Yu…, kamu kok ramah sekali?” Jawabannya pun membuat kami tersenyum,“Dokter kan harus ramah, Pa…”.
Sesampainya
di rumah, saya katakan pada anak kami bahwa untuk berlaku ramah, berbuat baik
pada tetangga dan peduli lingkungan tidak boleh hanya termotivasi oleh profesi
ke-dokter-annya. Melainkan harus
dilandasi kewajiban untuk meneladani panutan kita, pemimpin besar kita, Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Seorang
muslim harus mempedulikan dan memperlakukan tetangga dekatnya. Kalau kita
sebagai orang baru, maka jangan sampai kehadiran kita mengganggu mereka, jangan
sampai kita tidak peduli pada mereka. Beliau mengingatkan umatnya sampai pada hal-hal
yang sementara kita anggap sangat sepele, seperti tidak melarang tetangganya
yang meletakkan kayu di temboknya. Beliau juga menyuruh kita untuk melakukan hal-hal
yang kadang-kadang tidak terpikirkan, misal memperbanyak airnya apabila kita
memasak dengan kuah, kemudian diberikan ke tetangga.
Banyak
orang berpikiran bahwa selama kita tidak berhubungan secara langsung dengan
orang lain, maka
kita akan bebas dari tanggungjawab terhadap kelangsungan hidupnya. Pemikiran
seperti ini bertentangan
dengan apa yang telah difirmankan
Allah Ta’ala,
“Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta, dan orang
miskin yang tidak meminta” (Qs
Adz Dzariyat 19). Mungkin mereka akan membantah,
bagaimana bisa orang lain punya hak atas harta yang kita cari sendiri, tanpa
melibatkan mereka. Ini pemikiran yang sangat sempit. Apalagi di zaman modern ini, segala hal yang
kita miliki, yang kita nikmati ini, pasti akan memberikan efek terhadap orang
lain.
Ketika
kita merasakan kenyamanan berkendara di dalam mobil atau di atas sepeda motor, maka
sebenarnya dengan tidak langsung kita telah meracuni secara perlahan orang-orang
di sekitar kita yang tidak ikut menikmati kenyamanan tersebut. Tanpa bisa
menolak, mereka mau tidak mau terpaksa menghirup udara yang telah tercemari racun
yang dihasilkan oleh gas hasil pembakaran bahan-bakar, baik premium maupun
solar, yang keluar dari knalpot mobil atau motor kita. Akibat ini belum
termasuk polusi suara
Belum lagi usaha
menghasilkan listrik yang
dilakukan
dengan membakar bahan-bakar juga.
Semakin
banyak kita mengkonsumsi listrik,
maka semakin banyak kita berkontribusi terhadap polusi. Padahal menurut survei,
konsumsi listrik warga kota
jumlahnya rata-rata sepuluh kali lipat lebih besar daripada warga desa. Seperti yang kita lihat saat
naik pesawat terbang pada malam hari. Ketika akan take-off atau landing, terlihat
lewat jendela pemandangan di bawah. Suatu daerah yang terang benderang menunjukkan
kota dan di sekeliling agak jauh terlihat titik-titik lampu yang berjauhan
menunjukkan desa.
Besarnya
konsumsi listrik penduduk kota untuk penerangan tersebut belum termasuk yang
dipakai untuk kenyamanan mereka, seperti kulkas, AC, seterika, mixer, lift di hotel-hotel dan pemanas air. H anya konsep Islam dalam hal
berkehidupan sosial inilah yang betul-betul adil. Seperti firman Allah yang saya sebutkan di atas. Apa yang
kita berikan pada orang miskin adalah hak mereka, karena mereka telah ikut
merasakan akibat buruk yang dilakukan oleh orang yang kaya, orang yang lebih
mampu. Kalau hak tersebut tidak diberikan maka tidak akan ada bedanya antara
kita dengan perampok.
“Ya Pa, insya Allah saya
akan selalu berusaha mengingat dan melaksanakan nasehat ini”. Kata-kata ini
meluncur dari dokter kami sambil mengakhiri diskusi sore itu. Wallahu a’lam bish-shawab.||
Post a Comment