Tahta


Oleh Mahmud Thorif

Ngomongin jabatan, penulis jadi teringat kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Nabi Yusuf as meminta jabatan sebagai bendaharawan, bukan karena basahnya jabatan ini sehingga Beliau bisa menggunakan harta kerajaan semaunya. Beliau memandang dirinya memang bisa mengelola keuangan dengan baik, dengan profesional.
Memang benar, Nabi Yusuf as menjadi bendahara kerajaan yang mampu menyimpan keuangan dan dapat dipergunakan pada waktu yang tepat, saat penduduk kerajaannya membutuhkan. Hal ini disebabkan intuisinya yang tajam, di mana beliau bisa mengelola dan menyimpan saat musim panen, dan menggunakannya saat musim paceklik.
Nabi Yusuf mampu menyimpan bahan makanan karena beliau tahu akan datang musim pancaroba, musim di mana sulitnya air, hujan tidak turun sehingga para petani tidak mampu bercocok tanam, sawah ladang menjadi kering. Kemarau yang panjang.
Pertanyaannya, dari mana Nabi Yusuf belajar mengelola keuangan? Apakah dari ayahnya? Kalau dilihat dari kisahnya kemungkinannya kecil, Nabi Yusuf dibuang oleh saudaranya saat masih belia sehingga beliau pisah dengan ayahnya. Dari orang tua asuhnya? Bisa iya bisa tidak, karena Nabi Yusuf dewasanya mengikuti keluarga kerajaan. Atau saat di penjara? Bisa iya dan juga bisa tidak. Wallahu a’lam.
Sekarang, kita menengok jaman ini. Kalaulah kita sepakat bahwa pendidikan menjadi tolok ukur sebuah kemampuan manusia, apakah para pemimpin kita sudah benar-benar profesional? Apakah ada sekolah para calon pemimpin di negeri Indonesia? Coba kita tengok sekarang, pendidikan para pejabat tinggi di lingkungan kita? Apakah jabatan mereka sudah sesuai dengan pendidikannya? Tentu masih ada atau bahkan banyak yang tidak sesuai. Itu jika kita ukur dari pendidikannya.
Sekarang sarjana hukum, menjabat pucuk pimpinan sebuah instansi yan seharusnya harus kompeten dalam hal manajemen, sarjana agama harus berjibaku dengan memberi pengajaran yang bukan pada bidangnya. Itu jika kita ukur dari pendidikannya?
Lantas apakah mereka gagal? Mereka berlarian karena tidak bisa mengembannya? Mereka menyerahkan jabatan tersebut kepada yang layak menjabatnya? Penulis rasa tidak. Sekali lagi T-I-D-A-K. Itu kalaulah pendidikan menjadi tolok ukurnya.
Jiwa kepemimpinan itu bisa dipelajari, jiwa kepemimpinan pasti bisa kembangkan, walau memang tidak menutup kemungkinan jiwa kepemimpinan itu adalah bakat. Pemimpin itu dilahirkan atau pemimpin juga bisa disiapkan. Keduanya mempunyai peluang sama.
Penulis merasakan, pemimpin sekarang tidak seberat saat jaman para nabi terdahulu. Di jaman nabi-nabi, pemimpinnya harus bisa paham banyak hal, mulai dari urusan dapur, sumur, ataupun tempur. Walaupun memang ada juga pembagian tugas. Pemimpin jaman sekarang sudah dimudahkan dengan adanya para staff ahli, dengan hadirnya para konsultan, sehingga langkah-langkah yang seorang pemimpin tempuh sudah dipikir, dikaji secara matang.
Jabatan itu amanah, jika sebuah pekerjaan diserahkan bukan pada ahlinya maka tunggulah kehancurannya. Mari menyiapkan sekolah-sekolah pemimpin, atau jadikan anak-anak kita calon pemimpin tangguh.

*) Mahmud Thorif, Redaktur Majalah Fahma.

Powered by Blogger.
close