Berbicara Sesuai Kadar Akal Anak

Oleh Ali Rahmanto,

Seperti halnya makhluk hidup yang lain, anak-anak memiliki keterbatasan yang tidak mampu dilampauinya. Akal dan pikiran anak sedang dalam masa pertumbuhan. Pengetahuan kedua orangtua dan guru tentang tingkatan pertumbuhan akal anak cukup memudahkan mereka untuk memberikan solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi anak. Karena, dengan pengetahuan tersebut, mereka mengetahui kapan harus berbicara dengan anak, kalimat apa yang harus dipakai dan pola pikir apa yang hendak diungkapkan.
Jika dalam teori perkembangan kognitif yang dikembangkan oleh Jean Piaget, menytakan adanya pentahapan perkembangan kognisi pada anak; tahap sensori motor (lahir hingga 2 tahun), tahap pra operasional (2 th hingga 7 tahun), tahap operasional kongkrit (7 th hingga 11 th), dan tahap operasional formal (11 tahun keatas). Masing-masing tahap memiliki ciri dan metode tersendiri dalam pengajarannya. Pada  tahap sensori motor misalnya, anak akan mampu mempelajari sesuatu dengan segala sesuatu yang terindera dan serta bejar tentang permanensi objek. Kemudian pada tahap berikutnya, pra operasional; memiliki kecakapan motorik. Contoh kongkritnya adalah ketika mengajarkan kepada anak tentang perilaku hidup jujur. Maka cara pengajaran adalah dengan bukti-bukti perilaku yang menunjukkan adanya kejujuran. Baru ketika telah terbentuk konsep tentang kejujuran di ruang pikir anak, kita bisa mengenalkan tentang jujur secara definitif, pada tahap operasional formal, di mana anak-anak  telah berkembang penalaran abstraknya.
Dalam peristiwa sebelum Perang Badar, para sahabat menangkap seorang anak kecil yang menjadi penggembala kaum Quraisy. Mereka menanyakan jumlah tentara Quraisy, namun anak tersebut tidak bisa menjawab. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun datang. Tak diragukan lagi, beliau adalah seorang psikolog yang ulung. Beliau bertanya pada anak itu, “Berapa banyak unta yang mereka sembelih?” Anak itu menjawab, “Antara 9 hingga 10 ekor,” Rasulullah pun bersabda, “Jumlah mereka antara 900 hingga 1000 personel,” Beliau tahu bahwa anak itu tidak mengerti hitungan dalam ribuan, kemampuan akalnya hanya dalam hitungan puluhan, yakni puluhan unta yang mudah dihitung oleh setiap anak kecil, dan itu sudah cukup besar bagi mereka.
Ada pula contoh lain tatkala Rasulullah memanggil seorang gadis kecil dengan bahasa Abessina yang dipahaminya. Jika beliau berbicara dengan bahasa lain, sudah tentu gadis kecil ini tidak akan mampu memahami perkataan beliau. Ibnu Taimiyah, dalam kitab Iqtidha’ ash Shiroth al Mustaqim menyebutkan bahwa Rasulullah berkata pada Ummu Khalid bin Sa’d bin ‘Ash, saat itu masih gadis kecil. Beliau memberinya seperangkat pakaian dan bersabda dalam bahas Abbessina, yang artinya, “Wahai Ummu Khalid, ini bagus,”
Di antara contoh lain adalah tatkala Anas kurang bisa mengerjakan suatu pekerjaan atau lupa sehingga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pun menghukumnya. Rasulullah yang mengerti batas kemampuan seorang anak pun bersabda, “Biarkanlah dia, kalau dia mampu, pasti dia kerjakan,” Artinya, seorang anak memiliki kekuatan berpikir dan kemampuan tubuh yang terbatas. Menuntutnya melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya sama saja dengan menaburkan benih di udara.
Ketika bercanda dengan anak, Rasulullah pun menggunakan media yang sesuai dengan akal dan kemampuan mereka. Beliau bercanda dengan anak dengan menggunakan sesuatu yang dapat mereka raba dan mereka kenali dengan baik. Bukankah canda beliau kepada Abu ‘Umair, “Wahai Abu ‘Umair, bagaimana keadaan burung pipit itu?” merupakan bukti atas hal ini? Karena burung pipit adalah burung kecil yang dipakai sebagai mainan oleh annak kecil.

Berdialog dengan anak di luar batas kemampuan pikirannya justru akan menemui pembangkangan dan penolakan. Jika ada seseorang yang memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu dengan bahasa yang tidak kita mengerti, maka apakah kita akan melakukannya? Apakah itu adil? Demikian pula dengan anak-anak.

*) Ali Rahmanto, Pemerhati dunia anak, tinggal di Yogya

Powered by Blogger.
close