Sampai Kapan Menunggu Siap Menikah?

Oleh O. Solihin
Seorang teman pernah bercerita, ia ingin sekali menikah. Tapi ia masih ragu dengan dirinya sendiri: “Adakah seorang gadis yang mau menikah denganku?” “Masih pantaskah aku berharap cinta dari seseorang yang mau menerima keadaanku yang seperti ini?”. Mungkin saja tipe ikhwan yang seperti ini agak-agak kurang percaya diri. Tapi, ternyata memang ada juga yang seperti ini. Agak banyak pula.
Sangat boleh jadi ada banyak ikhwan yang mungkin sadar diri dengan kondisi yang dimilikinya. Merasa tak perlu berharap banyak ada seorang gadis yang mau berbagi rasa dengannya. Bahkan sangat boleh jadi, bermimpi untuk menikah pun adalah sebuah kemewahan dan khayalan tingkat tinggi baginya. Ia merasa harus terus menunggu. “Menunggumu.. menunggumu…” (seperti lirik lagu Peterpan ya?)
Seorang teman lain sempat bercerita, ada seorang akhwat yang hanya mau menikah dengan seorang ikhwan yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkannya. Tak jadi soal sebenarnya. Tapi saudaraku, kriteria yang ditetapkan sang akhwat itu terlalu spesifik dan terlalu tinggi. Entah, mungkin sang akhwat memang memilikibargaining position yang tinggi, sehingga berani memasang target “wah”.
Akhwat yang diceritakan teman saya itu ternyata menyusun kriteria ikhwan idamannya antar lain; sarjana, pandai bahasa Arab, aktivis dakwah, wajahnya lumayan tidak malu-maluin jika diajak kondangan, dan syarat lainnya yang tak bisa disebutkan di sini.
Lama tak kunjung datang pria idaman, sementara usia terus merambat naik tak kenal kompromi. Sang akhwat kebingungan dan (mungkin) putus asa. Padahal, ia merindukan ada ungkapan tulus dari seorang ikhwan yang menyatakan cinta kepadanya dan meminta izin untuk menjadi pendamping hidupnya. Tiga kata yang dirindukannya dari seorang ikhwan itu sangat sederhana: “Izinkan aku menikahimu”. Sayang, sang ikhwan idaman tak ada yang datang meminangnya. Sementara usianya terus merambat naik dan membuat khawatir keluarga yang dicintainya, juga dirinya.
Menurut Pak Fauzil Adhim[1], banyaknya muslimah yang belum menikah di usianya yang sudah cukup rawan bukannya tidak siap, tetapi karena mereka tidak pernah mempersiapkan diri. Kesiapan di sini, termasuk di dalamnya adalah kesiapan untuk menerima calon yang tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan sebenarnya, meski jika ditilik kembali sesungguhnya lelaki tersebut sudah memiliki persyaratan yang ‘sedikit’ lebih dibanding lelaki biasa. Misalnya, setidaknya sholatnya benar, akhlaknya baik, tidak berbuat syirik dan pergaulannya tidak jauh dari orang-orang shaleh. Artinya, lanjut Pak Fauzil, tidak usah mematok kriteria terlalu tinggi. Walaupun sebenarnya, sah-sah saja untuk melakukannya.
Jika antara ikhwan dan akhwat ternyata “saling menunggu”. Mungkin sang ikhwan kurang percaya diri dengan kondisinya. Sehingga mengharuskan ia merasa untuk menunggu saja. Tidak berusaha. Tidak mengupayakan cinta yang dimilikinya untuk disambut gadis pujaan hatinya. Ia diam saja. Menunggu.
Mungkin juga ikhwan yang sedang ‘menunggu’ itu sebenarnya sudah sangat percaya diri bahwa ia bisa mengupayakan cintanya bertaut dengan cinta akhwat idamannya. Tapi, ia masih terganjal studi, ia masih dibebani tugas dari orangtuanya untuk bekerja lebih dulu, mungkin juga ia merasa belum mapan secara finansial meski sudah bekerja. Banyak alasan memang. Tapi, tetap saja posisinya yang demikian itu adalah dalam masa menunggu. Menunggu yang seringkali tak pasti juga.
Bila banyak ikhwan yang berada dalam kondisi seperti tadi, tak beda juga dengan para akhwat. Apalagi para akhwat sering diposisikan sebagai “penerima”. Sehingga geraknya untuk hunting ikhwan jadi agak-agak terbatasi. Dalam kondisi ini, mungkin juga banyak akhwat yang sebenarnya tidak memasang kriteria ikhwan idamannya dengan syarat yang tinggi, atau terlalu tinggi. Asal, lelaki yang mau menikahinya sudah mukmin dan perangainya baik (dan tentu mencitainya), insya Allah akan disambutnya dengan suka-cita dan rasa syukur.
Model akhwat yang seperti ini, biasanya selain karena level keimanannya yang insya Allah sudah cukup bagus, juga mungkin karena merasa ‘kurang pede’ dengan kondisi dirinya. Merasa memiliki penampilan yang biasa-biasa saja, merasa dari kalangan keluarga yang ekonominya lemah, sadar diri karena hanya berbekal pendidikan di tingkat menengah saja, dan lain sebagainya. Ini juga bisa menjadi alasan mengapa sang akhwat merasa perlu untuk berada dalam posisi “menunggu”.
Seorang guru ngaji saya beberapa tahun lalu pernah menyampaikan rasa ‘khawatir’ dengan nada pertanyaan yang cukup masuk akal, “Mengapa banyak ikhwan yang rasanya sudah cukup mampu untuk menikah, tetapi tidak segera menikah? Sementara di satu sisi, ada banyak akhwat yang siap menikah.” Rasa khawatir guru ngaji saya memang cukup beralasan. Karena faktanya memang ada yang seperti itu.
Mungkin sudah saatnya, para ikhwan dan para akhwat membuka diri untuk mengupayakan cinta agar bisa saling bersambut. Tak harus selamanya menunggu siap menikah. Karena waktu terus berjalan dan kita tak sempat lagi untuk menunggu lebih lama. Ini terlepas dari persoalan jodoh yang tak kunjung tiba. Kita hanya mengusahakan. Kita hanya bisa berencana dan Allah jualah yang menentukan segalanya. Meski soal jodoh, bukan berarti kita punya alasan untuk menunggu terus. Mau sampai kapan? Jika sudah diupayakan, rasa-rasanya agak pantas jika bersabar ketika belum juga datang jodoh untuk kita. Jadi, apakah tetap akan menunggu siap menikah atau wajib mempersiapkan diri untuk menikah?
Salam,
O. Solihin
Ingin berbincang dengan saya? Silakan via Twitter di @osolihin
Powered by Blogger.
close