Cerdas di Rumah : Menjadi Tua Yang Mulia
Oleh M. Edy Susilo,
Pergantian malam dan siang membuat semua yang ada di muka bumi ini
terus berubah. Waktu berputar dan generasi pun bertukar. Bayi tumbuh menjadi
kanak-kanak, dan kemudian menjadi remaja. Tapi begitulah, saat anak-anak bertumbuh menuju dewasa, orangtua justru mulai
menapaki jalan menuruni keremangan senja.
Menjadi tua adalah sebuah keniscayaan. Tanpa mengabaikan fakta bahwa ada
sebagian orang yang tetap prima pada usia lanjut, namun secara umum, fisik mengalami gejala kemunduran.
Hari-hari yang berlalu ternyata begitu konsisten memberikan jatah usia
sembari menatahkan kerutan-kerutan halus di kulit. Mata yang awalnya awas,
secara perlahan tapi pasti menjadi redup. Rambut yang dulu hitam lebat, kini
bukan hanya menipis, tetapi sebagian juga berubah warna menjadi keperakan.
Ketika berdiri bersama anak muda usia dua puluhan, kita baru sadar kalau tubuh sudah agak condong ke depan.
Dada yang tadinya tegap kini kalah maju oleh perut yang makin menggembung.
Sate kambing atau tongseng yang pada masa lalu begitu nikmat, kini
dihindari karena dua alasan; pertama, karena sebagian gigi kita telah usai
menunaikan tugasnya dan kini pergi entah ke mana; kedua, karena duet penyakit
yang amat populer: “kolesterol” dan “tekanan darah tinggi”.
Berbagai penyakit yang dulu hanya kita baca di majalah, kini mulai
mampir dan ada yang kerasan tinggal di tubuh kita. Topik pembicaraan dengan
teman mulai berubah, dari yang dulu mengenai pekerjaan ini dan itu, peluang ini
dan itu, kini kita lebih suka membicarakan mengenai pengobatan alternatif atau terapis yang tokcer.
Ah, sepertinya baru kemarin sore kita mencecap kemudaan. Kilasan-kilasan
fast motion masa lalu saat kita
kecil, tumbuh dewasa, menikah dan memiliki anak, rasanya baru sekedipan mata. Tapi
itulah ketentuan Allah Azza wa Jalla.
Pergantian waktu adalah salah satu bukti kekuasaan-Nya. Tak ada yang dapat menghentikannya
kecuali jika Dia sendiri yang berkehendak. Menjadi tua tidak bisa dilawan
dengan menggunakan kosmetik, mengecat rambut, operasi plastik atau berdandan a la anak muda.
Serbuan informasi global sering menggemakan ketakutan untuk menjadi tua
dan menyebarkan obsesi untuk terus muda. Banyak orang yang terbawa arus dan
mengamini bahwa menjadi tua adalah bencana. Benarkah demikian? Sebenarnya,
tradisi timur menawarkan cara pandang yang berbeda terhadap ketuaan. Tradisi
timur amat menghargai ketuaan. Orangtua tidak lagi dipandang dari sisi
keunggulan fisik, melainkan pada kualitas internal seperti kearifan,
kebijaksanaan dan keteladanan. Kaum muda secara otomatis akan takzim pada orangtua
karena hal-hal tersebut.
Agama kita tidak mengajarkan manusia untuk bersusah payah agar selalu
muda di dunia yang jelas-jelas fana ini, melainkan bagaimana kita bisa mulia
dan “hidup abadi” dengan apa yang kita tanam semasa hidup. Salah satunya adalah
bagaimana kita menyiapkan anak-anak untuk menjadi generasi yang tangguh, kuat sekaligus
sholih dan sholihah. Generasi yang yang
seperti ini akan mampu mengalirkan kebaikan yang melintasi alam bagi generasi
terdahulu.
Kini, saat masih diberi kesempatan, tak boleh putus kita berusaha dan
berdoa agar anak-anak menjadi insan yang bertaqwa. Berkaitan dengan hal
tersebut, QS Al Ahqof memandu dengan indah:
“...sehingga ketika dia mencapai usia empat puluh tahun, dia berdoa ‘Ya
Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah
engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat
berbuat kebajikan yang Engkau ridhai, dan berilah aku kebaikan yang akan
mengalir sampai ke anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada-Mu, dan ||sungguh aku termasuk orang yang
berserah” (46:15).||
*) M. Edy Susilo, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi. FISIP UPN Veteran Yogyakarta
foto Budi cc line
Post a Comment