Ekplorasi : Ragam Cara Belajar Anak
doc/thorif |
Oleh Irwan Nuryana Kurniawan
Anak-anak
menunjukkan cara-cara yang berbeda dalam mengetahui dan belajar, dan cara-cara
yang berbeda dalam merepresentasikan apa yang mereka ketahui. Pada kurun waktu
tertentu, para teoritisi belajar dan ahli psikologi perkembangan telah mengakui
bahwa manusia terlahir untuk memahami dunia dalam cara-cara yang beragam dan
bahwa setiap individu cenderung memiliki preferensi atau model belajar
tertentu. Studi-studi perbedaan
dalam modalitas belajar telah menemukan hal yang kontras antara pembelajar
visual, auditori, atau taktil. Sementara karya yang lain telah mengidentifikasi
jenis pembelajar mandiri atau dependen (Witkin 1962).
Gardner (1983) memperluas konsep ini dengan berteori
bahwa manusia paling tidak memiliki tujuh “intelegensi.” Sebagai tambahan
terhadap kecerdasan tradisional yang penting bagi keberhasilan sekolah yaitu
kecerdasan bahasa dan logika matematis, setiap individu paling tidak memiliki
kecerdasan dalam bidang-bidang lain: musikal, spasial, kinestetik tubuh,
intrapersonal dan interpersonal. Malaguzzi (1993) menggunakan metaphor “100
bahasa” untuk menggambarkan modalitas yang beragam yang digunakan anak-anak untuk
memahami dunia dan merepresentasikan pengetahuan mereka. Proses-proses
merepresentasikan pemahaman yang mereka miliki, dengan bantuan guru-guru, dapat
membantu anak-anak memperdalam, memperbaiki, dan memperluas pemahaman mereka
(Copple, Sigel, & Saunders 1984; Forman 1994; Katz 1995).
Prinsip modalitas yang beragam memberi implikasi bahwa
para guru seharusnya menyediakan bukan hanyak kesempatan-kesempatan setiap anak
secara individual menggunakan preferensi model belajarnya sebagai menjadi modal
kekuatan mereka (Hale-Benson 1986) tetapi juga kesempatan-kesempatan untuk
membantu anak-anak mengembangkan intelegensi-intelegensi yang mereka sadari
tidak begitu menonjol.
Anak-anak berkembang dan belajar dengan sangat baik dalam
kontek sebuah komunitas di mana mereka aman dan dihargai, kebutuhan-kebutuhan
fisik mereka terpenuhi, dan mereka merasa secara psikologis aman.
Maslow (1954) merumuskan sebuah tingkatan
kebutuhan-kebutuhan dimana belajar tidak mungkin terjadi kecuali
kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan psikologis untuk aman terpenuhi lebih
dahulu. Karena keamanan dan kesehatan fisik sekarang-sekarang ini seringkali
terancam, program-program untuk anak usia dini harusnya bukan hanya menyediakan
nutrisi, keamanan, dan kesehatan yang adekuat tapi juga pastikan mendapatkan
layanan-layanan yang lebih menyeluruh, seperti fisik, gigi, kesehatan mental,
sosial (NASBE, 1991; U.S. Department of Health & Human Services ,1996).
Perkembangan
anak-anak dalam semua bagiannya dipengaruhi oleh kemampuan mereka untuk membangun
dan memelihara sebuah hubungan utama yang positif secara ajeg dengan
orang-orang dewasa dan anak-anak yang lain (Bowlby 1969; Stern 1985; Garbarino
et al. 1992). Hubungan-hubungan utama ini berawal dalam keluarga tetapi
kemudian meluas seiring berjalannya waktu termasuk guru-guru anak-anak dan
anggota-anggota komunitas. Oleh karena itu, praktek-praktek yang sesuai dengan
tahapan perkembangan seharusnya memperhatikan dengan baik kebutuhan-kebutuhan
fisik, sosial, dan emosi sebagaimana halnya perkembangan intelektual.||
*) Irwan Nuryana Kurniawan, Dosen Psikologi Universitas Islam Indonesia | Redaktur Majalah Fahma
Post a Comment