Eksplorasi : Marah yang Positif
doc/thorif |
Oleh Atiek
Setyowati
Waktu itu anak saya mengambil
gayung dan ember dari kamar mandi. Kemudian beranjak ke luar rumah. Saya ikuti
dia, saya sempat berpikir jangan-jangan mau main air lagi. Ternyata benar dia mainan
air. Kebetulan di luar rumah memang ada kolam kecil. Tiba-tiba saya marah
sekali dengan anak saya. Saya
membelalakkan mata lebar-lebar dan dengan suara keras saya memarahi anak saya.
Tanpa bertanya dulu dengan anak tersebut, saya langsung memarahinya. Meskipun
tanpa memukul, tetapi sepertinya anak saya menampakkan tanda ingin berontak dan
dongkol. Anak saya yang usianya belum mencapai 5 tahun itu memerah matanya.
Kemudian saya dekati dan baru bertanya, “Ember dan gayungnya kenapa diambil, Nak?”
“Aku mau bantu. Biar mama nggak capek,”kata si anak
“Aku mau nyiram tanaman ini lho Ma, biar nggak mati. Aku
kan mau bantu Mama.”
Ya…Allah maksud
yang baik tetapi saya sikapi dengan buruk. Alangkah seringnya kita melakukan
hal demikian. Karenanya, begitu saya menyadari kekeliruan tersebut, saya segera
minta maaf sekaligus ucapan terima kasih kepada anak saya. Sesudahnya, saya
beri sedikit penjelasan.
Bayangkan kalau
kesalahan semacam itu terjadi setiap hari, betapa besar potensi kebaikan anak
yang terkubur dalam-dalam sebelum sempat berkembang. Tentunya banyak sekali
kelakuan anak yang sering terjadi pada diri orangtua yang terkadang susah kita
tebak dan sering juga membuat kita kesal, sebal dan marah.
Memarahi anak
memang boleh jika benar-benar dibutuhkan. Tetapi memarahi berbeda dengan marah.
Memarahi tidak selalu karena marah, meskipun orangtua memarahi anaknya karena
emosi yang meluap-luap, saat hati dan pikiran keruh. Memarahi bisa kita lakukan
dengan kondisi emosi yang terkontrol, jernih dan tenang.
Ada beberapa hal
buruk yang dialami orangtua semacam saya. Mereka cepat marah karena ada yang
kurang menyenangkan dari si anak. Mereka cepat melampiaskan kemarahan hanya
karena kejadian-kejadian kecil, tanpa mengendapkan terlebih dahulu untuk
mencari jalan yang paling jernih. Tidak menunggu lama sudah mencubit anak
dengan keras, membelalakkan mata dan menghujaninya dengan kata-kata yang
negatif. Sebagian orangtua semacam ini menganggapnya hal itu adalah hal biasa
dan pilihan terbaik untuk memberi pelajaran si anak. “Biar anak tidak kurang
ajar, makanya harus diajari sopan santun.” kata seorang ibu.
Sayangnya,
mereka hanya memberi hukuman yang menyakitkan dan memarahinya, tanpa pernah
menerangkan kepada anak apa yang seharusnya dilakukan.
Hal ini
mengakibatkan berbeagai efek negatif pada anak. Pertama, anak akan belajar bahwa kekerasan sebagai hal biasa, tidak
menakutkan. Mereka tidak lagi merasa takut mendapat hukuman dari orangtuanya,
asalkan keinginannya terpenuhi. Kedua,
cara ini memang bisa membuat berhenti perilaku negatif anak, tetapi ia berhenti
bukan karena sadar. Sebaliknya anak bisa melawan orangtuanya. Itulah sebabnya
kenapa sebagian anak begitu patuh pada orangtua saat masih kanak-kanak, tetapi
berubah menjadi penentang saat remaja. Ketiga,
memarahi anak dengan tiba-tiba dan tanpa berpikir jernih dapat membuat anak
kebal hukuman tidak takut terkena bentakan, cubitan atau bahkan pukulan paling
keras sekalipun. Keempat, anak tidak
bisa mengambil keputusan dengan baik, membuat belajar melawan. Kelima, anak tidak punya pendirian yang
teguh, lemah, mudah terpengaruh dan menjadi orang yang keras kepala. Keenam, bisa mematikan kreativitas dan
potensi unggul anak.
Untuk itu agar
kita menjadi orangtua yang bijak. Mulailah dengan memarahi yang benar, menghukum
dengan memberi penjelasan kepada anak dengan baik, apa yang seharusnya
dilakukan dan sesudahnya menunjukkan apa yang tidak baik. Kita tunjukkan
konsekuensinya jika anak mengerjakan yang buruk dan salah. Atau kita jelaskan
kepada anak dengan cara yang lembut dan tegas tentang yang baru saja ia lakukan
Salah satu
hadits nabi yaitu “Laa taghdhab walakan
jannah, (janganlah kamu marah maka bagimu surga”(HR. Bukhari). Ya, jangan
marah. Ini butuh usaha yang keras dan komunikasi untuk saling mengingatkan
antara suami dan istri. Marilah kita menjadi orangtua yang baik dan selalu
memperbaiki diri.||
*) Guru SDIT Salsabila 3 Banguntapan
Post a Comment