Kajian Utama : Tak Sekadar KKM
doc fahma/thorif |
Oleh Slamet Waltoyo
Di kelas empat Pak Bardi harus mengulangi
Ulangan Harian IPS hingga dua kali. Ulangan ini diikuti lima belas anak yang
nilai ulangannya belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM adalah
prosentase ketuntasan minimal yang harus diraih murid per mata pelajaran. KKM
ditetapkan oleh sekolah dengan mempertimbangkan tiga hal yaitu; kemampuan
rata-rata akademis murid, kompleksitas indikator materi ajar, dan daya dukung
sarana dan Guru. Ketuntasan belajar untuk setiap indikator adalah 0 – 100%,
dengan batas kriteria ideal minimal 75%.
Pembelajaran Tuntas (Mastery Learning)
menghendaki, anak yang belum tuntas (belum mencapai angka KKM) dalam
mempelajari suatu materi ajar tidak diperbolehkan mempelajari materi ajar
selanjutnya. Maka Pak Bardi mengulang dan mengulang lagi Ulangan Hariannya
sehingga seluruh anak bisa mencapai KKM. Kita khawatir Pak Bardi sibuk mengejar
KKM sehingga mengurangi kualitas proses pembelajarannya.
Reformasi pendidikan di Amerika Serikat,
yang merupakan usaha terbaru dalam pendidikan adalah menekankan pada Pendidikan
Berbasis Standar, yaitu mendasarkan kurikulum, pengajaran, dan penilaian hasil
belajar murid pada standar kelas dunia. Ini berdasarkan pengalaman bahwa
murid-murid dari keluarga miskin dan minoritas di Amerika sering lebih rendah
dibanding murid dari kalangan keluarga lain. Artinya bahwa di negara ini
prestasi belajar diukur dari standar hasil belajar yang unggul.
Berbeda dengan apa yang terjadi di Jepang.
Tidak dianggap bernilai tinggi suatu prestasi yang diraih dengan usaha yang
biasa-biasa saja. Penghargaan atas prestasi yang paling tinggi adalah bagi
mereka yang berhasil setelah melalui usaha-usaha keras secara bersama-sama.
Termasuk usaha-usaha yang dilakukan oleh keluarga. Para Ibu di Jepang lebih
menekankan usaha yang dilakukan anaknya dari pada kemampuannya.
Bukankah agama kita memberi nilai lebih
pada usaha dan menyerahkan hasilnya kepada Allah? Allah Ta’ala memberi
nilai kebaikan untuk setiap langkah yang kita tempuh menuju majlis pendidikan.
Allah Ta’ala akan memberikan perubahan setelah kita berusaha terlebih
dahulu merubah diri. Ketika mengajarkan wudlu dan shalat, Rasulullah Shalallahu
Aalaihi Wassalam membiarkan shahabatnya berproses mencoba melakukan. Setelah
tahu salahnya baru membetulkan cara wudlu dan shalat yang benar dan meminta shahabat untuk mengulanginya.
Cara belajar yang demikian akan lebih bermakna dalam memberi perubahan dari
pada langsung dikasih tahu cara yang benar.
Tak sekadar KKM. Mari kita ingatkan Pak
Bardi untuk memberi prioritas dan penilaian yang tinggi pada keterlibatan
murid, perubahan perilaku, dan pembentukan karakter dengan usaha yang sungguh-sungguh.
Lima belas anak yang belum mencapai KKM kemungkinan adalah anak-anak yang
memiliki model belajar berbeda, langgam belajar yang khas. Maka Pak Bardi harus
melaksanakan proses pembelajaran dengan strategi dan pendekatan yang berbeda.
Sesuai dengan langgam dan model belajar anak-anak.
Dalam setiap Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tetap fokus pada
keunggulan proses. Jika prosesnya ideal dan penentuan KKM-nya benar maka dengan
sendirinya anak akan meraih KKM. KKM diperolehnya sebagai hasil samping dari
proses yang ideal. Bukan sebagai fokus utama yang mengesampingkan kualitas
proses. Dengan memberi fokus pada proses maka pembelajaran berpusat pada anak
didik agar dapat; belajar untuk beriman dan bertakwa. Belajar untuk memahami
dan menghayati. Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif.
Belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan belajar untuk
membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan sebagaimana dikehendaki dalam Peraturan Menteri Nomor
24 tahun 2007.
Meraih
KKM penting tetapi meraih proses pembelajaran ideal jauh lebih penting. Untuk mencapai suatu kompetensi dasar, murid harus melakukan kegiatan pembelajaran. KBM merupakan proses pembelajaran yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.||
*) Slamet Waltoyo, Kepala Sekolah MI Al-Kautsar Sleman
Post a Comment