Nak, Terimakasih Nasehatmu
Oleh Mahmud Thorif
“Abi, besok pagi saya dibangunkan
pagi-pagi ya!” pinta Syahidah, anak perempuanku.
“Memang mau apa kamu, Nak?” Tanyaku
“Mau sahur,” jawabnya pendek.
Kaget juga mendengar jawabannya. Ada
apa ini? Siapa yang mengajari dia untuk puasa sunah Senin dan Kamis.
Orangtuanya? Ah saya sendiri beserta istri terbilang jarang melakukannya. Atau
teman-teman sekolahnya di SDIT Hidayatullah Yogyakarta? Atau para gurunya di
sana? Naah ini yang perlu ditelusuri.
“Memang teman-temanmu di sekolah ada
yang puasa, Mbak?” Tanyaku
“Hem... ndak ada,” jawabnya pendek.
“Lha terus yang ngajarin kamu puasa
siapa?” tanyaku kembali.
“Ndak ada,” jawabnya.
Sampai di sini aku berhenti bertanya.
Mungkin suatu saat nanti akan terjawab banyak pertanyaan di hati ini tentang
perubahan pada anakku yang satu ini.
***
Kamis pagi kami terlelap tidur, entah
karena kacapekan atau karena lainnya. Aku dibangunkan istri tersayang saat azan
subuh. Ah teringat pesan anak perempuanku untuk membangunkannya makan sahur.
Terlambat, ini sudah subuh. Akhinrya saya tidak membangunkan dia. Aku bangunkan
setelah aku dari masjid.
“Nak, bangun yuk... shalat subuh,”
ujarku perlahan.
Anakku tidak bergerak sama sekali.
“Ayo..., Nak. Sudah siang tuuuh....”
kataku dengan sedikit suara keras.
Terlihat dia menggeliat, namun kembali
tenang meneruskan tidurnya. Akhirnya aku harus mendudukan dia, lalu mengangkat
perlahan-lahan untuk mengambil air wudhu. Namun, dalam hati masih ada rasa
bersalah karena tidak bisa membangunkannya makan sahur. Ah, maafkan abimu ini
ya, Nak.
Walau tidak makan sahur, anakku tetap
ngotot berpuasa. Aku sendiri sebagai orangtuanya sampai wanti-wanti, “Nanti
kalau tidak kuat di sekolah bilang Abi ya, Nak!” Begitu pesenku. Karena
kebetulan, sekolah anakku sama dengan di mana aku bekerja.
Benar saja, istirahat pertama sekitar
pukul 10.00 pagi, anakku sudah menangis kelaparan. Akhirnya saya belikan roti
dan minuman untuk mengganjal perut laparnya.
***
Ahad. Iya hari Ahad itu anakku masih
dengan permintaan yang sama. Dia minta dibangunkan untuk makan sahur. Walau
akhirnya dia makan sahur saat azan subuh berkumandang, sebenarnya bukan makan.
Hanya minum segelas susu coklat dan makan roti. Kali ini istriku yang berencana
menemani anaku berpuasa.
Saat istirahat di sekolah, aku tidak lupa
menanyakan tentang puasanya, subhanallah, dia masih berpuasa. Sungguh hatiku
waktu itu gembira, terharu, dan entah apa yang ada. Bahkan dia mampun bertahan
hingga azan maghrib. Allahu Akbar, bangga rasanya menyaksikan dia begitu makan
dengan lahap saat berbuka puasa. Padahal istri saya malah tidak meneruskan
puasanya.
****
Anakku, mungkin itu nasehatmu kepada
kami selaku orangtuamu yang jarang melakukan ibadah sunah puasa Senin da Kamis.
Ah, betapa engka telah membuka mata ini untuk mengikuti jejakmu, Nak.
Terimakasih atas nasehatmu, Nak. Walau statusmu sebagai anakku, namun sungguh
engkau telah memberi nasehat berharga untuk ayahmu ini.
Tulisan ini aku persembahkan kepada
Asma Syahidah Khoirunnisa yang baru kelas II di SDIT Hidayatullah Sleman
Yogyakarta. Semoga engkau istikomah selalu.
*Penulis, ayah 3 anak, tinggal di Sleman Yogyakarta
Post a Comment