Renungan : Terkadang Kita Lebih Kejam

Oleh Yurisa Nur Hidayati

Mungkin kita sudah hafal betul dengan kisah dalam hadits, kisah seorang pembunuh 99 orang yang akhirnya ia genapkan menjadi 100. Betapa keji! Namun taubat merubah segalanya. Bahkan Allāh perkenankan Jannah untuknya. Allāhu Ta'alā tahu benar kejujuran hati mantan pembunuh ini yang penuh sesal dan bertekad kuat untuk berhijrah lillāhi ta'alā.

Kita juga ingat dengan bagaimana haru birunya doa Rasulullāh saw pada penduduk Thaif. Sudah ditimpuki batu, ditimpuki pula kata-kata kotor. Geramlah semesta! Malaikat menawarkan untuk menimpakan gunung pada para penghina Nabi. Melibas habis generasi itu tanpa ampun. Tapi Nabi dengan kelembutan hatinya justru memohon pada Allāh agar anak-anak keturunan Thāif adalah kaum yang berlimpah imān dan kuat dalam jihād.

Bandingkan dengan muslimin hari ini.
Ngerinya.. Sadisnya..

Hanya selintas baca di media, tersangka kriminal dikutuk tanpa ampun. Seolah dialah yang mampu mengunci pintu taubat mereka yang dosa dan tersalah. Dan alih-alih mendoakan mereka agar mendapat hidayah, justru menyebar-nyebarkan aibnya. Merasa diri suci. Padahal sekalipun belum pernah bertatap muka, sudah merasa menjadi hakim atas nasib orang lain. Padahal ia bukan aparat, bukan pengacara, bukan hakim, bukan apa-apa. Hanya demi obrolan hangat agar terlihat kaya informasi. Tapi analisis mengalahkan komentator sepakbola. Amazing.

Hanya berbeda mahzab, beda jama'ah dakwah, bahkan beda masjid, sudah seakan-akan beda 'aqidah. Bahkan kita lebih toleran dengan non-muslim yang terbuka auratnya daripada saudara kita yang memilih bercadar. Berprasangka buruk tak habis-habis, dan menuliskannya dengan nafsu memburu di sosial-media. Mengumpulkan argumen dan dalil untuk mengokohkan ego diri. Seolah ia sangat ingin jika saudaranya terjun ke neraka. Mengharap betul-betul luka untuknya. Yang sejatinya syaitanlah yang bertepuk tangan. Yang sejatinya dia yang sedang mencabik hati sendiri dan memakan daging bangkai saudaranya.

Sungguh..
Tidak akan ada surga bagi hati yang gemar membenci, 
Tidak akan ada sakinah bagi jiwa yang dengki,
Tidak akan ada kebahagiaan bagi hati yang bertepuk tangan ketika saudaranya tenggelam dalam dosa.

Bukankah Allāhu Ta'alā telah ajarkan? 
Bukankah Rasulullāh ṣallallahu 'alayhi wa sallam telah contohkan?
Sebegitu sulitkah, untuk tidak berprasangka keji pada saudara kita sendiri?
Padahal husnuzhan adalah tangga awal dari ukhuwah.. dan ini pun kita belum lulus..
Padahal berdoa untuk saudara tidak berat diongkos...
Ya, mungkin karena kita masih miskin ilmu tapi gila informasi..
Allāh ampuni kami, bimbing kami….

*) Penulis lulusan Psikologi UGM dan tinggal di Padang
Sumber : secangkirmakna
Powered by Blogger.
close