Cinta Bersujud di Mihrab Taat
mohammad fauzil adhim |
Oleh
Salim Afillah
Julaibib,
begitu dia biasa dipanggil. Sebutan ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri
jasmani serta kedudukannya di antara manusia; kerdil dan rendahan.
Julaibib. Nama
yang tak biasa dan tak lengkap. Nama ini, tentu bukan dia sendiri yang
menghendaki. Tidak pula orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui
siapa ayah dan yang mana bundanya. Demikian pula orang-orang, semua tak tahu,
atau tak mau tahu tentang nasab Julaibib. Tak dikenal pula, termasuk suku
apakah dia. Celakanya, bagi masyarakat Yatsrib, tak bernasab dan tak bersuku
adalah cacat kemasyarakatan yang tak terampunkan.
Julaibib yang
tersisih. Tampilan jasmani dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya manusia
berdekat-dekat dengannya. Wajahnya yang jelek terkesan sangar. Pendek. Bungkuk.
Hitam. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak beralas.
Tak ada rumah untuk berteduh. Tidur sembarangan berbantalkan tangan, berkasurkan
pasir dan kerikil. Tak ada perabotan. Minum hanya dari kolam umum yang diciduk
dengan tangkupan telapak. Abu Barzah, seorang pemimpin Bani Aslam,
sampai-sampai berkata tentang Julaibib, ”Jangan pernah biarkan Julaibib masuk
di antara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal
yang mengerikan padanya!”
Demikianlah
Julaibib.
Namun jika Allah berkehendak
menurunkan rahmatNya, tak satu makhlukpun bisa menghalangi. Julaibib berbinar
menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaff terdepan dalam shalat maupun
jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah dia tiada, tidak
begitu dengan Sang Rasul, Sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal
di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi, Shallallaahu
’Alaihi wa Sallam. ”Ya Julaibib”, begitu lembut beliau memanggil, ”Tidakkah
engkau menikah?”
”Siapakah
orangnya Ya Rasulallah”, kata Julaibib, ”Yang mau menikahkan putrinya dengan
diriku ini?”
Julaibib
menjawab dengan tetap tersenyum. Tak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan
takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah juga tersenyum.
Mungkin memang tak ada orangtua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari
berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang
sama. ”Wahai Julaibib, tidakkah engkau menikah?” Dan Julaibib menjawab dengan
jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.
Dan di hari
ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib kemudian membawanya ke salah
satu rumah seorang pemimpin Anshar. ”Aku ingin”, kata Rasulullah pada si
empunya rumah, ”Menikahkan puteri kalian.”
”Betapa indahnya dan betapa
berkahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa Sang Nabi lah calon
menantunya. ”Ooh.. Ya Rasulallah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang
menyingkirkan temaram dari rumah kami.”
”Tetapi bukan
untukku”, kata Rasulullah. ”Kupinang puteri kalian untuk Julaibib.”
”Julaibib?”,
nyaris terpekik ayah sang gadis.
”Ya. Untuk
Julaibib.”
”Ya
Rasulullah”, terdengar helaan nafas berat. ”Saya harus meminta pertimbangan
isteri saya tentang hal ini.”
”Dengan
Julaibib?”, isterinya berseru. ”Bagaimana bisa? Julaibib yang berwajah lecak,
tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta? Demi Allah
tidak. Tidak akan pernah puteri kita menikah dengan Julaibib. Padahal kita
telah menolak berbagai lamaran..”
Perdebatan itu
tak berlangsung lama. Sang puteri dari balik tirai berkata anggun. ”Siapakah
yang meminta?”
Sang ayah dan
sang ibu menjelaskan.
”Apakah kalian hendak menolak
permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena
Rasulullah lah yang meminta, maka tiada akan dia membawa
kehancuran dan kerugian bagiku.” Sang gadis shalihah lalu membaca ayat ini;
Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman
dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata. (QS Al Ahzab [33]: 36)
Dan Sang Nabi dengan tertunduk berdoa
untuk sang gadis shalihah, ”Allahumma shubba ‘alaihima khairan shabban.. Wa
la taj’al ‘aisyahuma kaddan kadda.. Ya Allah, limpahkanlah kebaikan
atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh berkah. Janganlah Kau jadikan hidupnya
payah dan bermasalah..”
Doa yang
indah.
Sungguh kita
belajar dari Julaibib untuk tak merutuki diri, untuk tak menyalahkan takdir,
untuk menggenapkan pasrah dan taat pada Allah dan RasulNya. Tak mudah menjadi
orang seperti Julaibib. Hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas. Kita
juga belajar lebih banyak dari gadis yang dipilihkan Rasulullah untuk Julaibib.
Belajar agar cinta kita berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tak
suka. Karena kita tahu, mentaati Allah dalam hal yang tak kita suka adalah
peluang bagi gelimang pahala. Karena kita tahu, seringkali ketidaksukaan kita
hanyalah terjemah kecil ketidaktahuan. Ia adalah bagian dari kebodohan kita.
Isteri
Julaibib mensujudkan cintanya di mihrab taat. Ketika taat, dia tak merisaukan
kemampuannya.
Memang pasti,
ada batas-batas manusiawi yang terlalu tinggi untuk kita lampaui. Tapi jika
kita telah taat kepada Allah, jangan khawatirkan itu lagi. Ia Maha Tahu
batas-batas kemampuan diri kita. Ia takkan membebani kita melebihinya. Isteri
Julaibib telah taat kepada Allah dan RasulNya. Allah Maha Tahu. Dan Rasulullah
telah berdoa. Mari kita ngiangkan kembali doa itu di telinga. ”Ya Allah”, lirih
Sang Nabi, ”Limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh
barakah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”
Alangkah
agungnya! Urusan kita sebagai hamba memang taat kepada Allah. Lain tidak! Jika
kita bertaqwa padaNya, Allah akan bukakan jalan keluar dari masalah-masalah
yang di luar kuasa kita. Urusan kita adalah taat kepada Allah. Lain tidak. Maka
sang gadis menyanggupi pernikahan yang nyaris tak pernah diimpikan gadis
manapun itu. Juga tak pernah terbayang dalam angannya. Karena ia taat pada
Allah dan RasulNya.
Tetapi
bagaimanapun ada keterbatasan daya dan upaya pada dirinya. Ada tekanan-tekanan
yang terlalu berat bagi seorang wanita. Dan agungnya, meski ketika taat ia tak
mempertimbangkan kemampuannya, ia yakin Allah akan bukakan jalan keluar jika ia
menabrak dinding karang kesulitan. Ia taat. Ia bertindak tanpa gubris. Ia yakin
bahwa pintu kebaikan akan selalu terbuka bagi sesiapa yang mentaatiNya.
Maka benarlah
doa Sang Nabi. Maka Allah karuniakan jalan keluar yang indah bagi semuanya.
Maka kebersamaan di dunia itu tak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang
isteri shalihah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya.
Julaibib lebih dihajatkan langit meski tercibir di bumi. Ia lebih pantas
menghuni surga daripada dunia yang bersikap tak terlalu bersahabat kepadanya.
Adapun isterinya, kata Anas ibn Malik, tak satupun wanita Madinah yang
shadaqahnya melampaui dia, hingga kelak para lelaki utama meminangnya.
Saat Julaibib
syahid, Sang Nabi begitu kehilangan. Tapi beliau akan mengajarkan sesuatu
kepada para shahabatnya. Maka Sang Nabi bertanya di akhir pertempuran, “Apakah
kalian kehilangan seseorang?”
“Tidak Ya
Rasulallah!”, serempak sekali. Sepertinya Julaibib memang tak beda ada dan
tiadanya di kalangan mereka.
“Apakah kalian kehilangan seseorang?”,
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi. Kali ini
wajahnya merah bersemu.
“Tidak Ya
Rasullallah!” Kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tak seyakin tadi.
Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri.
Rasulullah
menghela nafasnya. “Tetapi aku kehilangan Julaibib”, kata beliau.
Para shahabat
tersadar.
“Carilah
Julaibib!”
Maka
ditemukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah
muka. Di seputaran menjelempah tujuh jasad musuh yang telah dia bunuh.
Sang Rasul, dengan tangannya sendiri
mengafani Sang Syahid. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam menshalatkannya
secara pribadi. Ketika kuburnya digali, Rasulullah duduk dan memangku jasad
Julaibib, mengalasinya dengan kedua lengan beliau yang mulia. Bahkan pula
beliau ikut turun ke lahatnya untuk membaringkan Julaibib. Saat itulah, kalimat
Sang Nabi untuk si mayyit akan membuat iri semua makhluq hingga hari
berbangkit. “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku. Dan aku adalah bagian
dari dirinya.”
Ya.
Pada kalimat itu; tidakkah kita cemburu?
sepenuh cinta,
Salim A.
Fillah
sumber www.salimafillah.com
Post a Comment