Mogok Sekolah Tak Perlu Marah

doc/thorif
Oleh Subhan Afifi

Anak memang benar-benar unik dan beda. Anak pertama saya, Azzam Abdussalam (7 tahun) sejak usia TK sudah menunjukkan “bakat” untuk menjadi anak yang tertib, disiplin, dan mandiri. Hingga kelas 1 di SDIT Hidayatullah,Balong,Yogyakarta, saat ini, tak pernah kami, saya dan isteri, mendapatkan gejala bahwa ia bermasalah dengan sekolahnya. Tak pernah sekali pun, dia mogok sekolah. Prestasinya di sekolah dan di rumah kadang membuat kami terharu. Di usianya kini, ia sudah khatam 2 kali al-Qur’an, hapal juz 30 dan mulai masuk juz 29. (Semoga semangat Al-Qur’an selalu bersemai dalam hatimu ya..Nak!). Shalatnya juga sudah rutin berjamaah di masjid. Kadang, ia mendahului Abinya menembus gelapnya shubuh, berangkat ke masjid, mengayuh sepeda kecilnya. Gairah dan antusiasme belajarnya juga terasa menyala-nyala. Aktivitas belajar yang ia jalani, mulai dari mengulang pelajaran sekolah, tadarus al-Qur’an hingga hapalan Al-Qur’an, berlangsung tanpa beban. Setidaknya, itu yang kami rasakan dan amati. Sungguh, sejauh ini kami tak menghadapi kesulitan berarti dalam menemani kesehariannya. Rasa-rasanya kami tak menghadapi “ujian untuk bersabar” bila menghadapi si sulung itu. Alhamdulillah !

Soal-soal ujian bernama kesabaran itu, justeru diperkenalkan oleh bidadari kecil kami, Zulfa Athifah (6 tahun). Sebagai anak kedua, Zulfa menunjukkan keunikan sekaligus kelebihannya. Sejak bayi, puteri kami ini menunjukkan kreativitasnya yang luar biasa. Kalau menangis, suaranya keras melengking, dan susah untuk dihentikan. Belakangan, terlihat kemauannya keras, susah untuk dipatahkan. Bak diplomat ulung, “argumentasi-argumentasi” si kecil Zulfa susah untuk ditaklukkan.

Dalam hal sekolah, Zulfa menunjukkan gejala “tak mudah diatur”. Sejak masuk play group di usia 3 tahun, Zulfa seringkali menunjukkan “perlawanannya” dengan sekolah. Kalau akan berangkat sekolah, siap-siapnya lamaaa sekali. Sering terlambat, dan sebagainya. Puncaknya ketika di akhir semester 1 TK B, Zulfa “mengambil keputusan” untuk mogok sekolah. “Nggak ah… nggak mau..!” begitu selalu jawabannya. Mogok sekolah ini berlangsung cukup lama. Zulfa sekolah di TKIT Taruna Al-Qur’an,Ngelempongsari, Yogyakarta, sama dengan kakaknya dulu.

Saat itu, saya merasa tak ada yang patut dicemaskan dengan mogok sekolah itu. Dan satu hal yang paling saya ingat, saya berusaha untuk TIDAK MARAH. Kami tak ingin marah-marah. Apalagi mencak-mencak menyalahkan sekolah. Para guru di TKIT itu sudah sedemikian ikhlas dan berjuang keras mendidik anak saya. Tapi, mungkin juga ada sesuatu yang perlu dicari sebagai sumber masalah. Kami mencoba terus mengkomunikasikan masalah ini dengan para guru. Sebagian besar guru menyarankan, “biar saja Pak, nggak usah dipaksa, toh semua kompetensi yang diharapkan, sudah dikuasai Zulfa”.Benar juga, di balik sikap ogah-ogahannya untuk sekolah, Zulfa tak ada masalah dengan berbagai “pelajaran” di TKIT itu. Bahkan, untuk membaca, sejak TK A, Zulfa sudah lancar membaca. Kami tidak pernah mengajarkannya membaca.Tidak juga menerapkan metode GlennDoman atau apa. Rasanya, tau-tau saja dia bisa membaca. Kami hanya sering, bahkan rutin, membacakan buku-buku sejak dia masih bayi. Kini, buku-buku sekelas Ensiklopedi Bocah Muslim sudah menjadi santapan kegemarannya.

Jadi, tidak adalah alasan untuk marah. Kami juga tidak marah-marah kepada si anak. Apalagi menakut-nakutinya, “nanti kalau nggak sekolah jadi bodoh, jadi miskin, dan sebagainya!”. Yang kami lakukan, kami mencoba untuk terus berdialog, “kenapa sih Mbak Zulfa nggak mau sekolah ?”. Hingga suatu saat terungkap dari bibir mungilnya : “Bosen ah sekolah,gitu-gitu aja !”. Kami kemudian mulai tersadar, benar juga, mungkin Zulfa bosan. Sejak play group, berarti hampir 3 tahun,sekolah di tempat yang sama, menjalani rutinitas yang bisa jadi menjadi tidak ada “tantangannya” lagi.

Mendengar alasannya yang bosan dengan sekolah, kami jadi semakin “memakluminya”. Zulfa kami biarkan menikmati permainannya di rumah bersama sang adik, Nuha Qonitah (3 tahun). Permainan yang paling mereka gemari adalah “Bermain Peran”, dan peran yang sering mereka mainkan adalah “suasana sekolah”. Zulfa jadi guru, Nuha jadi murid. Zulfa sangat terampil menirukan aksi bu gurunya di sekolah, mulai dari saat senam pagi, masuk kelas, hingga pelajaran mewarnai, bercerita, dan prosesi berdo’a dan lagu perpisahan ketika pulang sekolah. Saya, yang saat ini mendapat anugerah terindah untuk banyak di rumah, berusaha untuk menciptakan berbagai kegiatan bersama dengan Zulfa dan Nuha (ketika Azzam sekolah dan umminya ke kantor). Ada kegiatan yang kami sebut “penjelajahan”. Kami naik sepeda bertiga (Zulfa sendiri, Nuha saya bonceng) menyusuri jalan-jalan kampung, mampir di sawah, merendam kaki dalam kali kecil yang mengalir, berenang, dan seterusnya. Atau pergi bertiga ke pasar, beli ini-itu, sambil bercerita apa saja yang membuat mereka tertarik. Rupanya kegiatan-kegiatan itu sangat digemari Zulfa. Termasuk praktek membuatjuice buah segar di pagi hari.

Walaupun kami “memaklumi” kalau Zulfa mogok sekolah, bukan berarti kami ingin membiarkan kondisi itu terus berlangsung. Bagi kami, sekolah tetap penting. Lantas, kami terus coba berdialog dengan Zulfa, membangkitkan lagi kerinduannya dengan sekolah, membayangkan bagaimana enak-nya sekolah. “Di sekolah kan banyak temannya, di ajak jalan-jalan” dan seterusnya. Rupanya, lama-lama Zulfa “menyadari” itu. Hingga suatu hari, saya kembali mengantarkan Zulfa ke sekolah. Walaupun awalnya enggan dan ingin menangis, akhirnya Zulfa kembali menikmati sekolahnya. Hingga hari ini. Guru di sekolah pun, dari hasil bincang-bincang, mencari program-program pembelajaran baru untuk Zulfa. Hasilnya cukup melegakan. Saat ini Zulfa sering pulang sekolah ceria dengan cerita-cerita barunya.

Benar saja, dialog dan komunikasi lebih manjur daripada marah-marah. Saya jadi teringat nasihat Ustadz Fauzil Adhim tentang 7 kunci sukses mendidik anak. Saya hanya hapal 3 diantaranya : (1) Jangan Marah, (2) Jangan Marah, (3) Jangan Marah.. Nah.. sudahkah kita (tidak) marah hari ini ?


*) Subhan Afifi, Pemimpin Redaksi Majalah Fahma. Twitter @subhanafifi
Powered by Blogger.
close