Cinta dan Pernikahan Tanpa Dakwah
doc/fahma |
Oleh Sinta Yudisia
Suatu ketika putriku bertanya, “ Ummi nggak pernah
berantem sama Abah?”Bohong kalau kukatakan ,” nggak pernah sama
sekali!”Bagaimana mungkin dua orang yang tak pernah saling mengenal sebelumnya,
hidup seatap, mencoba senasib sepenanggungan, menghadapi aral melintang
menghadang, satu demi satu anak lahir dan besar melalui tahap demi tahap
perkembangan ; semua dihadapi adem ayem penuh senyum tawa tanpa
sekalipun duka, marah, jengkel, gundah gulana?
Tentu pernah kami saling tersinggung, diam seribu bahasa, mencoba menjaga jarak, sebelum salah satu bersikap rendah hati meminta maaf terlebih dahulu. Tapi apa yang membuat sebuah pernikahan melewati tahun demi tahun, membentur tembok kesukaran, sesaat kapal oleng, dan kami tetap saling berpegangan tangan mencoba bertahan dalam badai?
*Tujuan pernikahan*
Kalau tujuan berpasangan hanya semata urusan biologis semata, sampai kapan bertahan? Terlebih secara fisik, baik lelaki dan perempuan tak akan mampu terus menerus memiliki hasrat besar. Lebih dari sekedar biologis, fisiologis; maka pernikahan tak hanya didasarkan urusan fisik semata. Wajah boleh ayu tampan setahun lima tahun ke depan, sesudah punya anak satu dua tiga dan seterusnya, digerus permasalahan hidup dan ekonomi; rupawan tak lagi bertahan.
Yang bertahan adalah brain , behavior.
Kemampuan otak mencerna sesuatu, mencoba cari jalan keluar dari setiap masalah; dan bagaimana berperilaku. Akan semakin lengkap dengan egostrength , kekokohan mental yang didasarkan pada prinsip-prinsip Robbani.
Maka, pernikahan yang bertahan adalah yang dimulai, dijalani dan insyaAlalh kelak diakhiri dalam rangka pengabdian padaNya.
*Obat pernikahan*
Berantem?
Berselisih?
Marah? Jengkel?
Jika bukan dalam landasan dakwah, entah bagaimana kami menjalani kehidupan rumahtangga yang selalu menghadapi satu demi satu aral menghadang. Suatu saat, kami berselisih, saya menangis. Cari-cari suami tidak ketemu, hingga ia pulang ke rumah dalam kondisi tenang. Ternyata,
“…aku seharian di masjid. Tilawah Quran.”
Oalaaaaah.
Mangkel, hehe…tapi bersyukur luarbiasa. Lha kalau suami lagi jengkel malah jalan-jalan ke mall, cucimata, nonton bioskop sendirian, ke café? Bisa-bisa pulang ke rumah tambah tak terkendali.
Maka, kebiasaan ibadah bisa menjadi obat pernikahan. Terbiasa baca Quran bersama, saling mengingatkan puasa sunnah, sholat malam bersama. Suatu saat, kalau sedang berselisih dan saling mendiamkan, masa’ melalui malam dengan sholat qiyamul lail sendiri-sendiri? Malu laaah…apalagi sholat shubuh masing –masing nggak saling menyapa. Rasanya gak oke!
Biasanya, amarah luntur saat menghadapi waktu ibadah yang berikut, seperti harus makan sahur; atau mengingatkan anak-anak untuk baca Quran. Alhasil, kekakuan reda, saling menyapa dan berbincang lagi.
Tak terbayangkan, bila tak terbiasa beribadah bersama-sama, berapa lama kemarahan mengeras dan bahkan tak mampu cair kembali?
*Dakwah adalah obat*
“Apa sih yang menjadi bahan berantem Abah Ummi?” anakku bertanya lagi.
Apa ya…? Aku mencoba mengingat-ingat. Sepertinya, kami nyaris tak pernah bertengkar untuk urusan ekonomi, bahkan bila terpaksa harus bersabar kami saling mengingatkan untuk tetap banyak berdzikir, sedekah, memperbanyak ibadah. Toh, masih banyak orang yang lebih sederhana dan sepanjang usia harus bersabar.
Seingatku, kami berselisih untuk permasalahan-permasalahan dakwah, terkadang kami berbeda menyikapi. Seperti misalnya suami menegur, tamu-tamu yang datang ke rumah, terkadang kalau curhat bisa berlama-lama. Aku mau bilang apa?
“Lama amat ngobrolnya,” suami keberatan, sebab ia sering kelelahan usai beraktivitas, dan harap maklum ingin gantian dilayani makan, minum dll.
“Lha gimana lagi,” aku menjelaskan,” masa’ harus Ummi usir? Mending mereka curhat kemari kan Mas, timbang curhat ke lain tempat, ke teman-teman mereka yang malah gak ngasih solusi baik.”
Untuk hal ini, akhirnya kami mencapai kata sepakat, bahwa harus ada waktu yang dibagi untuk curhat-curhatan dengan waktu untuk keluarga. Sebab mau tak mau, kami harus memantau hafalan Quran anak-anak, memberikan diskusi kepada anak-anak terkait kisah ulama, tafisr, salafus sholih maupun iptek terkini. Dan biasanya, aku mengiyakan agenda curhat-curhatan saat suami tidak berada di rumah (khusus cewek), supaya ketika ia kembali pulang kami bisa saling memperhatikan.
Begitupun waktu yang tersisa bersama suami, berisi pembicaraan berharga.
“Ada agenda apa malam ini, Mas?”
“Ada rapat nih.”
“Sampai jam berapa?”
“Malam, gak tau jam berapa pulangnya.”
“Ohya udah, berarti aku siapkan kopi panas dan camilan, aku tunggu mas pulang sambil ngetik ya.”
“Oke.”
Di waktu lain,
“Ummi ada acara hari ini?”
Biasanya Jumat, Sabtu, Minggu agendaku malah padat. Maklum ibu-ibu hehe…
“Pagi aku ngisi di sini, siang di situ, malam juga ada. Besok minggu ke luar kota.”
“Ya ampuuuun,” kata suamiku. “Sibuk benerrrr!”
Aku nyengir.
“Ya udah, ntar tak antar jemput ya,” kata suamiku.
Itu artinya pulang ngisi acara kami berdua bisa bercanda di atas sepeda motor sambil menuju…wisata kuliner! Sekedar yang murah tak apa, makan soto dan es teh bersama.
Agenda dakwah kami nikmati bersama, kami syukuri, dan ternyata agenda –agenda dakwah itu yang menjadi obat pernikahan kami.
Aku bercerita pada putri sulungku, Inayah,
“…nggak kebayang ya mbak In, kalau Abah Ummi nggak dijalan dakwah. Paling berantemnya masalah duit, mobil, belum lagi kalau masing-masing jatuh cinta lagi sama orang lain, ada WIL/PIL, naudzubillah.”
Aura di rumah pun berbeda.
Ketika sibuk pilkada dan pemilu, anak-anak menyetel televisi, membaca koran, masing-masing memberikan argumennya terkait berita. Anak-anak punya pendapat tersendiri terkait Palestina, Mesir, dunia Islam, Amerika, Yahudi, harga bawang putih dan politik dagang sapi; juga siapa-siapa saja terkait kasus korupsi. Aku geli sendiri, merasakan aura dakwah berada di tengah pembicaraan kami.
“Ya, bayangkan saja, kalau Mesir kabinetnya 140 orang penghafal Quran, gimana gak tangguh?” kataku.
“Wah, coba kabinet kita kayak gitu,” sahut Inayah.
“Amiiin.”
Hari Sabtu, yang ditetapkan pemerintah sebagai hari libur nasional melengkapi hari Minggu, sama sekali bukan hari libur bagi keluarga-keluarga dakwah.
“Ummi, aku pengajian jam 7!” Ahmad berseru.
“Aku jam 8!” Inayah menambahkan.
“Jam 9 , Mi,” Nisrina si kecil tak mau kalah.
“Masku lagi nggak bisa ngisi,” kata Ayyasy.
“Gimana ini? Ummi mau ngisi acara! Abah ada acara?”
“Nggak ada,” jawab suami, kalau pas nggak ada rapat. Maka Sabtu bukan hari libur bagi suami sebab ia mengantar jemput anak-anak pengajian, menggawangi rumah bila aku harus pulang sore hari, suami memasak makanan istimewa sehingga anak-anak merasa tetap menjadi bagian special bagi kami sekalipun bergantian Abah dan Ummi nya sering tidak di rumah.
Sepanjang jalan , rasanya aku bersyukur atas ritme ini, merasakan karuniaNya atas hari demi hari yang penuh gairah bersama dakwah.
Bila, ada perselisihan terkait dakwah, saat aku sebagai perempuan terkadang cemberut, rewel, ingin perhatian lebih, ingin dimanja, tak mau kompromi dengan agenda suami yang padat dan ia pulang ke rumah lelah. Suamiku –tipe lelaki rasional dan easy going- berkata,
“…aku ingin Ummi mendukung dakwahku. Bukankah itu juga yang kulakukan untukmu?”
Tak terbayangkan, bila dakwah tak menjadi bagian dari perjalanan cinta kami, juga pernikahan dan keluarga kami.
Tentu pernah kami saling tersinggung, diam seribu bahasa, mencoba menjaga jarak, sebelum salah satu bersikap rendah hati meminta maaf terlebih dahulu. Tapi apa yang membuat sebuah pernikahan melewati tahun demi tahun, membentur tembok kesukaran, sesaat kapal oleng, dan kami tetap saling berpegangan tangan mencoba bertahan dalam badai?
*Tujuan pernikahan*
Kalau tujuan berpasangan hanya semata urusan biologis semata, sampai kapan bertahan? Terlebih secara fisik, baik lelaki dan perempuan tak akan mampu terus menerus memiliki hasrat besar. Lebih dari sekedar biologis, fisiologis; maka pernikahan tak hanya didasarkan urusan fisik semata. Wajah boleh ayu tampan setahun lima tahun ke depan, sesudah punya anak satu dua tiga dan seterusnya, digerus permasalahan hidup dan ekonomi; rupawan tak lagi bertahan.
Yang bertahan adalah brain , behavior.
Kemampuan otak mencerna sesuatu, mencoba cari jalan keluar dari setiap masalah; dan bagaimana berperilaku. Akan semakin lengkap dengan egostrength , kekokohan mental yang didasarkan pada prinsip-prinsip Robbani.
Maka, pernikahan yang bertahan adalah yang dimulai, dijalani dan insyaAlalh kelak diakhiri dalam rangka pengabdian padaNya.
*Obat pernikahan*
Berantem?
Berselisih?
Marah? Jengkel?
Jika bukan dalam landasan dakwah, entah bagaimana kami menjalani kehidupan rumahtangga yang selalu menghadapi satu demi satu aral menghadang. Suatu saat, kami berselisih, saya menangis. Cari-cari suami tidak ketemu, hingga ia pulang ke rumah dalam kondisi tenang. Ternyata,
“…aku seharian di masjid. Tilawah Quran.”
Oalaaaaah.
Mangkel, hehe…tapi bersyukur luarbiasa. Lha kalau suami lagi jengkel malah jalan-jalan ke mall, cucimata, nonton bioskop sendirian, ke café? Bisa-bisa pulang ke rumah tambah tak terkendali.
Maka, kebiasaan ibadah bisa menjadi obat pernikahan. Terbiasa baca Quran bersama, saling mengingatkan puasa sunnah, sholat malam bersama. Suatu saat, kalau sedang berselisih dan saling mendiamkan, masa’ melalui malam dengan sholat qiyamul lail sendiri-sendiri? Malu laaah…apalagi sholat shubuh masing –masing nggak saling menyapa. Rasanya gak oke!
Biasanya, amarah luntur saat menghadapi waktu ibadah yang berikut, seperti harus makan sahur; atau mengingatkan anak-anak untuk baca Quran. Alhasil, kekakuan reda, saling menyapa dan berbincang lagi.
Tak terbayangkan, bila tak terbiasa beribadah bersama-sama, berapa lama kemarahan mengeras dan bahkan tak mampu cair kembali?
*Dakwah adalah obat*
“Apa sih yang menjadi bahan berantem Abah Ummi?” anakku bertanya lagi.
Apa ya…? Aku mencoba mengingat-ingat. Sepertinya, kami nyaris tak pernah bertengkar untuk urusan ekonomi, bahkan bila terpaksa harus bersabar kami saling mengingatkan untuk tetap banyak berdzikir, sedekah, memperbanyak ibadah. Toh, masih banyak orang yang lebih sederhana dan sepanjang usia harus bersabar.
Seingatku, kami berselisih untuk permasalahan-permasalahan dakwah, terkadang kami berbeda menyikapi. Seperti misalnya suami menegur, tamu-tamu yang datang ke rumah, terkadang kalau curhat bisa berlama-lama. Aku mau bilang apa?
“Lama amat ngobrolnya,” suami keberatan, sebab ia sering kelelahan usai beraktivitas, dan harap maklum ingin gantian dilayani makan, minum dll.
“Lha gimana lagi,” aku menjelaskan,” masa’ harus Ummi usir? Mending mereka curhat kemari kan Mas, timbang curhat ke lain tempat, ke teman-teman mereka yang malah gak ngasih solusi baik.”
Untuk hal ini, akhirnya kami mencapai kata sepakat, bahwa harus ada waktu yang dibagi untuk curhat-curhatan dengan waktu untuk keluarga. Sebab mau tak mau, kami harus memantau hafalan Quran anak-anak, memberikan diskusi kepada anak-anak terkait kisah ulama, tafisr, salafus sholih maupun iptek terkini. Dan biasanya, aku mengiyakan agenda curhat-curhatan saat suami tidak berada di rumah (khusus cewek), supaya ketika ia kembali pulang kami bisa saling memperhatikan.
Begitupun waktu yang tersisa bersama suami, berisi pembicaraan berharga.
“Ada agenda apa malam ini, Mas?”
“Ada rapat nih.”
“Sampai jam berapa?”
“Malam, gak tau jam berapa pulangnya.”
“Ohya udah, berarti aku siapkan kopi panas dan camilan, aku tunggu mas pulang sambil ngetik ya.”
“Oke.”
Di waktu lain,
“Ummi ada acara hari ini?”
Biasanya Jumat, Sabtu, Minggu agendaku malah padat. Maklum ibu-ibu hehe…
“Pagi aku ngisi di sini, siang di situ, malam juga ada. Besok minggu ke luar kota.”
“Ya ampuuuun,” kata suamiku. “Sibuk benerrrr!”
Aku nyengir.
“Ya udah, ntar tak antar jemput ya,” kata suamiku.
Itu artinya pulang ngisi acara kami berdua bisa bercanda di atas sepeda motor sambil menuju…wisata kuliner! Sekedar yang murah tak apa, makan soto dan es teh bersama.
Agenda dakwah kami nikmati bersama, kami syukuri, dan ternyata agenda –agenda dakwah itu yang menjadi obat pernikahan kami.
Aku bercerita pada putri sulungku, Inayah,
“…nggak kebayang ya mbak In, kalau Abah Ummi nggak dijalan dakwah. Paling berantemnya masalah duit, mobil, belum lagi kalau masing-masing jatuh cinta lagi sama orang lain, ada WIL/PIL, naudzubillah.”
Aura di rumah pun berbeda.
Ketika sibuk pilkada dan pemilu, anak-anak menyetel televisi, membaca koran, masing-masing memberikan argumennya terkait berita. Anak-anak punya pendapat tersendiri terkait Palestina, Mesir, dunia Islam, Amerika, Yahudi, harga bawang putih dan politik dagang sapi; juga siapa-siapa saja terkait kasus korupsi. Aku geli sendiri, merasakan aura dakwah berada di tengah pembicaraan kami.
“Ya, bayangkan saja, kalau Mesir kabinetnya 140 orang penghafal Quran, gimana gak tangguh?” kataku.
“Wah, coba kabinet kita kayak gitu,” sahut Inayah.
“Amiiin.”
Hari Sabtu, yang ditetapkan pemerintah sebagai hari libur nasional melengkapi hari Minggu, sama sekali bukan hari libur bagi keluarga-keluarga dakwah.
“Ummi, aku pengajian jam 7!” Ahmad berseru.
“Aku jam 8!” Inayah menambahkan.
“Jam 9 , Mi,” Nisrina si kecil tak mau kalah.
“Masku lagi nggak bisa ngisi,” kata Ayyasy.
“Gimana ini? Ummi mau ngisi acara! Abah ada acara?”
“Nggak ada,” jawab suami, kalau pas nggak ada rapat. Maka Sabtu bukan hari libur bagi suami sebab ia mengantar jemput anak-anak pengajian, menggawangi rumah bila aku harus pulang sore hari, suami memasak makanan istimewa sehingga anak-anak merasa tetap menjadi bagian special bagi kami sekalipun bergantian Abah dan Ummi nya sering tidak di rumah.
Sepanjang jalan , rasanya aku bersyukur atas ritme ini, merasakan karuniaNya atas hari demi hari yang penuh gairah bersama dakwah.
Bila, ada perselisihan terkait dakwah, saat aku sebagai perempuan terkadang cemberut, rewel, ingin perhatian lebih, ingin dimanja, tak mau kompromi dengan agenda suami yang padat dan ia pulang ke rumah lelah. Suamiku –tipe lelaki rasional dan easy going- berkata,
“…aku ingin Ummi mendukung dakwahku. Bukankah itu juga yang kulakukan untukmu?”
Tak terbayangkan, bila dakwah tak menjadi bagian dari perjalanan cinta kami, juga pernikahan dan keluarga kami.
Sumber: http://secangkirmakna.blogspot.com/
Post a Comment