Kajian Utama : Ramadhan di Sekolah: Meriah Saja Tidak Cukup!
doc/thorif |
Oleh Irwan Nuryana Kurniawan
Sepertinya ada yang perlu dievaluasi dan diperbaiki secara
berkelanjutan terkait segala kegiatan yang selama ini sudah diusahakan dan
dilakukan pihak sekolah menyambut puasa di bulan Ramadhan. Alhamdulillah,
kemeriahan dan antusiasme guru, siswa, dan komite sekolah dalam menyambut dan
menjalani hari-hari puasa selama bulan Ramadhan sangat terasa di sekolah.
Berbagai kegiatan dirancang dan diselenggarakan pihak sekolah agar para siswa
mendapatkan pengalaman keberagamaan yang positif dan maksimal selama bulan
Ramadhan.
Hanya saja, jika dikaitkan dengan tujuan akhir disyariatkannya puasa
kepada orang-orang yang beriman, yaitu ketakwaan—tentu saja dengan kesadaran
penuh bahwa mereka masih anak-anak dan meraih ketakwaan merupakan proses
perbaikan diri secara berkelanjutan menjadi Ibâd
al-Rahmân—maka kemeriahan dan antusiasme siswa dalam menyambut dan
menjalani hari-hari puasa selama bulan Ramadhan di sekolah belumlah cukup.
Belum cukup membantu anak-anak kita, misalnya, bersikap dan berperilaku
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam,”Puasa adalah perisai (dari siksa api
neraka). Bilamana salah seorang dari kalian berpuasa, maka janganlah ia
bertutur kata yang tidak baik atau berkata tidak senonoh. Jika ada seseorang
memeranginya dan memancing amarahnya, hendaklah ia berkata,’Aku sedang
berpuasa.” (HR Bukhari dan Muslim).
Artinya perlu ada semacam perbaikan mendasar sehingga muncul
kesadaran dan keyakinan yang sangat kuat dari diri setiap siswa, dalam diri
anak-anak kita bahwa puasa mereka menjadi tidak bernilai sama sekali di sisi
Allah Ta’ala (baca: tidak berpahala) jika tidak disertai dengan akhlak mulia.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam,“Barang siapa tidak meninggalkan
perkataan dusta dan masih saja mengerjakannya (sewaktu berpuasa), maka Allah
sama sekali tidak menginginkan (menerima) sikap menahan makan dan minum (puasa)
dari hamba tersebut.”(HR Bukhari).
Perbaikan mendasar yang bisa dilakukan pihak sekolah—tentu saja akan
lebih baik jika pihak orangtua juga melakukannya—dimulai dari penguatan
pemahaman dan keyakinan dalam pribadi setiap siswa, setiap anak tentang
pentingnya konsep niat. Secara sistemik, setiap guru membiasakan menanyakan dan
mengingatkan semua siswa setiap kali akan memulai sebuah kegiatan, misalnya,”Anak-anak,
ayo, siapa yang tahu, supaya yang akan kita lakukan sekarang disukai oleh Allah
Ta’ala, supaya berpahala, apa yang
sebaiknya kita lakukan?” Ketika proses seperti ini diulang terus menerus setiap
akan melakukan sebuah kegiatan, oleh setiap guru, pada semua mata pelajaran dan
pada semua jam pelajaran, maka insya Allah akan muncul kesadaran dan keyakinan
yang kuat dalam diri setiap pribadi siswa bahwa niat itu penting. Bahwa
berharga tidaknya, penting tidaknya setiap pilihan kegiatan yang mereka lakukan
sangat ditentukan oleh apakah mereka melakukannya semata-mata hanya untuk
mendapatkan cinta dan ridha Allah Ta’ala
atau bukan, lillahi ta’ala atau
bukan.
Perbaikan mendasar selanjutnya adalah secara sistemik sekolah dan
guru senantiasa menghubungkan setiap pengalaman belajar yang dialami oleh
setiap siswa, termasuk di dalamnya pengalaman keberagamaan shalat dan berpuasa
di bulan Ramadhan, dengan akhlak mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam, “Aku hanya
merima shalat dari orang yang dengannya ia tawaduk pada keagungan-ku, tidak
menyakiti mahluk-Ku, berhenti bermaksiat pada-Ku, melewati siangnya dengan
dzikir pada-Ku, serta mengasihi orang fakir, orang yang sedang berjuang di
jalan-Ku, para janda, dan orang yang ditimpa musibah.”(HR Al-Zubaidi). Jika hal semacam ini setiap hari dipaparkan dan dialami oleh setiap siswa, maka
akan muncul dalam pikiran dan keyakinan mereka adanya hubungan yang sangat erat
antara setiap ibadah yang disyariatkan dan akhlak mulia yang menyertainya. Tidak ada shalat jika shalatnya tidak
mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar! Tidak bernilai puasanya di
sisi Allah jika masih suka berdusta.
*) Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi., Dosen Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Post a Comment