Memperbaiki Bacaan Sejak Kecil
doc/thorif |
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Ada yang menarik dari kegiatan khatmil Qur'an di SDIT Salman Al-Farisi
Yogyakarta pagi tadi. Ini bukanlah kegiatan membaca Al-Qur'an dari juz 1 hingga
30 dalam satu hari yang kadangkala diwarnai kebut-kebutan baca di sore hari
sebagaimana dulu kerap saya dapati di kampung. Ini merupakan kegiatan ujian
sekaligus syahadah bahwa seseorang telah dinyatakan mampu membaca Al-Qur'an dengan baik dan
benar sesuai kaidah membaca Al-Qur'an. Anak-anak dinyatakan lulus hanya
jika mampu membaca dengan benar, tahu nama hukum bacaan dan mengerti hukum
bacaan sebagaimana terdapat dalam ilmu tajwid.
Melalui mekanisme yang jelas, proses yang terjaga dan menerapkan standar
tanpa toleransi (zero tolerance), anak menguasai
bacaan dengan baik. Tak perlu terjadi anak gelagapan baca اللهِ sehingga terdengar awoh atau awloh di kelas atas SD jika sejak awal telah dijaga ketat bacaannya. Sebagian
anak telah mampu membaca dengan tepat sebelum mereka bersekolah, meski belum
sempurna, tapi bermasalah ketika sekolah tidak mengajarkan membaca dengan
benar.
Banyaknya jumlah murid di tiap angkatan bukanlah kendala untuk mengajari
anak membaca dengan benar dan sempurna jika mekanisme
ditegakkan. Mengajari membaca Al-Qur'an dengan benar semenjak awal memang
tampak lambat, tapi sesudah menguasai, anak akan lebih asyik membaca. Di awal
anak sangat mungkin ketinggalan jauh dibanding rekan-rekannya yang belajar
membaca dengan prinsip asal lancar, tetapi sesudah itu anak akan lebih mudah
membaca karena memahami prinsipnya dengan matang.
Mengoreksi bacaan ketika "lidah terlanjur kaku" jauh lebih sulit
dibanding mengajari membaca dengan benar dan faham kaidah semenjak dini. Ketika
pola yang salah sudah terbentuk, perlu kerja ekstra untuk meruntuhkan pola
tersebut, lalu menata kembali agar mampu mengucapkan dengan benar. Dan perlu
upaya lebih keras lagi untuk mampu merangkai serta mengucapkannya secara sempurna.
Ini berbeda dengan mengajari membaca dengan benar dan sempurna sesuai kaidah.
Ada kesulitan memang, tapi begitu anak mampu membacanya secara sempurna, ia
akan mudah mempelajari serta membaca yang lebih kompleks. Lebih mudah pula
baginya membaca beberapa bacaan yang gharib(keluar dari kaidah
umum).
Ketika anak telah benar-benar mampu membaca sesuai kaidah, proses menghafal
secara mandiri jauh mudah. Ini yang kadang dilupakan. Di luar itu, lebih
banyaknya hafalan tidak sama dengan matangnya pemahaman dan kokohnya komitmen
terhadap Al-Qur'anul Karim. Maka hal awal yang perlu dibekalkan kepada
anak di saat kecil adalah kecintaan, keyakinan dan kemauan berpegang kokoh pada
Al-Qur'an.
Al-Qur'an itu petunjuk bagi seluruh ummat manusia, penjelas dari petunjuk
dan pembeda. Tapi tak semua dapat memperoleh petunjuk. Lalu siapa yang
mendapatkan petunjuk itu? Allah Ta'ala kabarkan kepada kita di awal surat
Al-Baqarah bahwa, orang-orang bertaqwalah yang memperoleh petunjuk
Al-Qur'an. Salah satu cirinya iman kepada yangghaib; meyakini sepenuhnya
segala yang ada dalam Al-Qur'an, termasuk apa yang belum terjadi maupun yang
sudah berlalu berabad-abad sebelum turunnya Al-Qur'an.
Inilah yang perlu diperhatikan dalam menanamkan Al-Qur'an dalam diri anak.
Jika sekedar banyak hafalannya, khawatirilah mereka jadi munafik. Na'udzubillahi min dzaalik.
Mari kita renungi sabda Nabi shallaLlahu 'alaihi wa
sallam tentang orang munafik:
أَكْثَرَ مُنَافِقِي أُمَّتِي قُرَّاؤُهَا
“Kebanyakan
orang munafik di tengah-tengah umatku adalah qurra’uha (penghafal Al-Qur'an).” (HR. Ahmad).
Lho? Apa sebabnya qurra' (penghafal Al-Qur'an) tersebut sampai tergelincir dalam
kemunafikan? Mereka adalah orang-orang yang menghafalkan Al-Qur'an, tapi
lalai mendidik niat dan menguati iman. Atau, mereka menghafalkan Al-Qur'an
memang untuk tujuan dunia. Amat besar kemuliaan orang yang membaca
Al-Qur'an, terlebih yang menghafalkannya. Tetapi jika salah niat atau tak
mengimaninya, maka banyaknya hafalan tak membawanya kepada keselamatan. Itu
sebabnya mendidik niat dan memperbaiki iman perlu kita perhatikan, terlebih
saat anak kita masih belia.
*) Mohammad Fauzil Adhim, Penulis
Buku-buku Parenting. Twitter @kupinang
Post a Comment