Mendidik Anak Sesuai Zamannya

doc/thorif
Oleh Imam Nawawi

“Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu,” demikian pesan Khalifah Kedua Umat Islam, Umar bin Khaththab. Pesan yang sungguh singkat dan mudah diingat.

Akan tetapi, inilah tantangan besar yang benar-benar nyata bagi keluarga Muslim abad ini. Yakni, bagaimana mendidik anak sesuai zamannya. Dikatakan demikian karena di era kekinian berbagai macam konsep dan model pendidikan sungguh sangat variatif.

Lebih dari itu, dari sisi budaya, pergaulan dan perkembangan sosial, anak-anak sangat rentan ‘menelan’ begitu saja apa yang menurut naluri mereka asyik dan menarik tanpa mempedulikan batasan norma dan agama. Tidak mengherankan, jika kemudian anak-anak masa kini tidak begitu tertarik dengan konsep-konsep dasar dan penting dalam Islam.

Di sinilah banyak orang tua yang nampak kewalahan dalam menghadapi perilaku anak. Sebagian ada yang mengambil tindakan ekstrem dengan mengisolir anak dari perkembangan zaman. Sebagian justru apatis dan membiarkan anaknya tumbuh sesuai dengan perkembangan zaman yang berlangsung.

Sebagai Muslim, tentu dua jenis respon tersebut sangat tidak dianjurkan. Islam itu tsawabit (tetap) tetapi sekaligus mutaghayyirat (fleksibel).Tsawabit dalam konteks aqidah, seperti yang disampaikan oleh Luqman Al-Hakim kepada anaknya agar tidak mempersekutukan Allah (QS. 31: 13).

Mutaghayyirat dalam hal skill penting yang mesti dikuasai seorang anak. Hal ini tidak bisa berlaku sama persis secara praktik sebagaimana Nabi menjalankan pendidikan skill kepada anak-anak. Misalnya terhadap hadits yang mengatakan bahwa anak-anak perlu diajari skill memanah, berenang dan berkuda.

Dalam konteks modern maka segala hal yang dianggap penting bagi kemajuan pribadi maupun kolektif umat, segenap orang tua perlu mendidik anak-anak mereka menguasai kesemua hal itu. Misalnya menguasai komputer, kimia, kedokteran, atau pun skill lainnya.

Jadi, pengertian mendidik anak sesuai zamannya adalah mengarahkan anak-anak kita mampu survive dalam zaman dimana dia hidup, sehingga mampu menjadi insan yang mandiri dan kontributif bagi kemaslahatan umat.

Mengenai pendidikan yang bersifat tsawabit (aqidah dan ibadah) maka orang tua harus menempatkannya sebagai yang paling utama. Lebih dahulu dan lebih penting dari penanaman skill. Sebab, kecerdasan skill yang tidak dilandasi dengan aqidah yang kokoh hanya akan menimbulkan kerusakan demi kerusakan.

Seperti yang kita lihat dan rasakan di zaman ini. Betapa mereka yang terdidik secara kognitif ternyata banyak yang tidak mampu memengang teguh norma-norma agama, moral, dan sosial. Tinggi intelektualitasnya namun rendah integritasnya.

Semua ini dikarenakan konsep yang keliru dalam pendidikan anak. Dimana atas nama perkembangan zaman aspek yang mutaghayyiratdikejar-kejar, sementara yang tsawabit justru diabaikan.

Kebutuhan Zaman

Ketika Rasulullah bersabda bahwa anak-anak keluarga Muslim perlu diajari memanah, berenang dan berkuda, situasi zaman saat itu, umat Islam berhadapan dengan zaman perang secara fisik, sehingga kontribusi nyata yang sangat diperlukan umat kala itu adalah skill dalam bertempur.

Tidak heran, jika banyak bermunculan pemuda-pemuda belia yang memiliki kapasitas tempur yang luar biasa. Tidak saja secara skill individu dalam mengalahkan musuh, tetapi juga pada aspek strategi memimpin pasukan. Ini bisa kita lihat pada sosok Usamah bin Zaid atau pun Thariq bin Ziyadh.

Tetapi, bagaimana dengan saat ini? Apakah hadits tersebut sudah tidak relevan, sebagaimana anggapan kaum sekuler? Atau justru hadits tersebut merupakan petunjuk kunci bagi umat Islam di abad modern ini mampu menjadi umat terbaik?

Tentu hadits tersebut merupakan petunjuk kunci bagi umat Islam untuksurvive di segala zaman. Memanah, berenang dan berkuda, di zaman sekarang tentu tidak begitu relevan. Akan tetapi, apa yang saat ini dibutuhkan umat seperti yang dibutuhkan zaman Nabi kala itu bukanlah suatu hal yang sulit untuk dicerna.

Misalnya, ke depan umat Islam memerlukan pakar di bidang kesehatan, karena saat ini banyak sekali obat yang diduga mengandung unsur-unsur keharaman (organ babi). Kemudian, misalnya ke depan umat Islam memerlukan media siaran audio visual yang handal, dan lain sebagainya.

Maka, pada tantangan-tantangan itulah anak-anak kita perlu dididik. Artinya, anak-anak kita harus mengerti dunia kesehatan (kedokteran) dan teknologi informasi, sehingga umat Islam bisa dijamin sehat fisik dan pemikirannya. Dalam ranah inilah orang tua harus mendorong putra-putrinya untuk giat belajar.

“Nak, rajin-rajinlah belajar. Jadilah kamu orang yang ahli di bidang kesehatan. Karena umat Islam perlu seorang dokter yang bisa meramu obat atau ramuan yang benar-benar sesuai tuntunan syar’i. Yang mujarab tapi tidak mahal,” misalnya.

Atau, “Nak, tingkatkanlah kemampuanmu dalam bidang teknologi informasi. Ayah ingin kamu kelak menjadi pakar IT yang bisa mensolusikan siaran televisi nasional untuk umat Islam. Agar anak-anak kaum Muslimin di negeri ini menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah.”

Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa mendidik anak sesuai zamannya adalah mengarahkan anak-anak pada kemampuan-kemampuan tertentu yang memungkinkan mereka menjadi problem solveratas segala macam permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat Islam.

Haus Ilmu

Satu hal yang paling fundamental dalam bahasan mendidik anak sesuai zamannya adalah bagaimana orang tua menjadikan putra-putri mereka haus terhadap ilmu. Ini bukan pekerjaan ringan, terlebih jika orang tua tidak memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap ilmu.

Rasa selalu ingin menuntut ilmu harus ditumbuhkan sedini mungkin. Di sinilah kandungan substansial dari hadits Nabi bahwa, “menuntut ilmu itu dari lahir hingga liang lahat,” benar-benar harus kita implementasikan.

Bagaimana itu kita wujudkan? Mungkin panjang bahasan akan hal ini. Tetapi kita bisa tafakkuri apa yang dicontohkan guru dari Imam Bukhari, yakni Yahya bin Ma’in (233 H).

Beliau mendapatkan warisan dari ayahnya sebesar 1 juta dirham dan 50 ribu dinar. Semua itu dihabiskan Yahya untuk mencari hadits, sehingga sandalpun ia tidak memilikinya. Dari harta itu, Yahya memiliki 114 rak yang penuh dengan buku. Bisa dibayangkan, betapa sangat hausnya beliau terhadap ilmu.

Jadi, wajar jika ketika mendidik generasi muda, Yahya bin Ma’in mampu mencetak kader Muslim sehebat Imam Bukhari, yang merupakan problem solver atas kebutuhan umat terhadap pegangan otentik sumber ilmu dan sumber hukum Islam kedua, yang tetap berlaku hingga saat ini bahkan akhir zaman.*

*) Imam Nawawi, Pimpinan Redaksi Majalah Mulia. Twitter @abuimia


Powered by Blogger.
close