Ramadhan Momen Terbaik Tanamkan Iman dan Takwa pada Anak

doc/thorif
Oleh Imam Nawawi

Kalau kita renungkan dengan baik apa yang Allah firmankan pada Surah Al-Baqarah yang mewajibkan umat Islam berpuasa, khususnya pada kalimat agar kalian bertakwa, maka sudah semestinya dalam kontek keluarga, anak-anak juga harus kebagian kesempatan untuk bisa jadi insan bertakwa.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).

Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa takwa itu sangat mungkin dicapai di dalam bulan Ramadhan karena puasa itu sendiri memiliki makna penyucian, pembersihan, dan penjernihan diri dari kebiasaan-kebiasaan dan akhlak yang tidak baik.

Dari sini jelas, bagaimana seharusnya para orang tua bersikap selama Ramadhan. Akan tetapi bagaimana dengan anak-anak kita, utamanya yang masih kecil dan menginjak usia remaja? Tentu perlu strategi yang tepat agar Ramadhan tidak saja nikmat bagi orang tua, tetapi juga berdampak langsung bagi pertumbuhan iman dan takwa anak-anak kita.

Keteladanan
Metode apa pun dalam mendidik anak tidak akan banyak bermanfaat jika dalam keluarga, anak-anak tidak menemukan keteladanan dari kedua orang tuanya. Di dalam Bulan Ramadhan kesempatan orang tua untuk memberikan keteladanan sangatlah terbuka luas. Mulai dari disiplin waktu, ibadah, termasuk aktivitas keseharian.

Dengan kata lain, memasuki Ramadhan orang tua hendaknya sudah memiliki rencana yang jelas serta target yang pasti. Dengan demikian, anak-anak di rumah akan melihat bahwa orang tuanya memiliki ‘aktivitas’ yang berbeda yang dilakukan dengan antusiasme tinggi.
Dari situlah anak secara alamiah akan berpikir bahwa orang tuanya benar-benar serius mengisi Bulan Ramadhan dengan berbagai macam aktivitas ibadah dan ketaatan. Jika dalam hal keteladanan ini anak-anak tidak menemukannya, mungkin saja anak akan mendengar ‘ceramah’ orang tua, tetapi boleh jadi itu tidak membekas dalam lubuk hatinya.

Mencintai Al-Qur’an
Langkah berikutnya, sembari membangun keteladanan, orang tua juga mesti mengajak anak-anaknya untuk mencintai Al-Qur’an. Mencintai dalam hal ini tidak sebatas mengajarkan mereka pandai membaca dan cepat menghafalnya, tetapi menginternalisasikan nilai-nilai Qur’an terhadap jiwa dan cara berpikir anak.

Misalnya, orang tua mengajak anak membahas tentang kisah Nabi Yusuf, satu-satunya Nabi yang Allah kisahkan secara utuh di dalam satu surah. Jelaskan kepada mereka bahwa Nabi Yusuf adalah anak yang sangat teguh dalam memegang prinsip, tidak mudah mengeluh, sangat sayang kepada orang tua dan tidak takut menghadapi masalah.

Bahkan Nabi Yusuf tidak meminta tolong kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah semata. Keyakinannya terhadap kuasa Allah teguh bagaikan baja. Akhirnya, Allah berikan berita gembira berupa pengangkatan dirinya sebagai manusia yang penuh manfaat dan hidup dalam kebahagiaan di atas landasan iman.

Dengan cara seperti itu orang tua bisa mengantarkan anak-anaknya memahami bahwa Al-Qur’an itu kitab suci yang tidak saja layak dibaca dan dihafal semata tetapi juga diserap, disadap dan disedot kekuatan mukjizatnya, terutama dalam membangun sikap mental, prinsip dan keteguhan hati dalam memegang kebenaran.

Apalagi di dalam Al-Qur’an Allah tegaskan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan di Bulan Ramadhan (QS. Al-Baqarah: 185). Jadi, sangat relevan jika orang tua mengajak anak-anaknya untuk mencintai Al-Qur’an dalam pengertian mengkaji, mendalami dan menggali kandungan-kandungan Al-Qur’an secara lebih modern dengan tetap mengacu pada kitab-kitab tafsir ulama yang mu’tabarah.

Meningkatkan Aktivitas Keilmuan
Satu tantangan terberat para orang tua dalam mendidik anak-anaknya selama Ramadhan, apalagi bertepatan dengan libur sekolah adalah mengendalikan kegiatan anak.
Umumnya, orang tua mengeluh, meskipun sebagian besar mendiamkannya, perilaku anak yang menghabiskan siang harinya dengan menonton televisi atau bermain game, bahkan sebagian lagi menghabiskan siang harinya dengan tidur.

Dalam konteks ini orang tua mesti memiliki perencanaan yang kuat. Misalnya soal menonton televisi, anak-anak harus diajak membuat kesepakatan untuk tidak melihat televisi kecuali pada program taushiyah atau pun kajian ke-Islam-an. Bahkan orang tua harus berhasil membuat kesepakatan dengan anak untuk tidak melihat televisi saat menjelang sahur.
Kemudian, main game. Orang tua harus mengendalikan aktivitas bermain ini secara elegan. Misalnya dengan mengalihkan bermain game dengan memberikan tugas pada anak untuk membaca sejarah Nabi dan sahabat, yang nantinya jika anak-anak berhasil membaca dan menuliskannya dalam catatan harian orang tua memberikan hadiah berupa paket lebaran.

Hal ini perlu dilakukan, karena pemaksaan pada akhirnya tidak memberikan kesan positif pada anak. Orang tua harus berani bersabar dengan mengalihkan tradisi kurang positif anak secara persuasif dan gradual. Kecuali jika anak-anak kita memang sudah tidak berperilaku sebagaimana umumnya anak-anak masa kini.

Selanjutnya, aktivitas keilmuan. Orang tua tidak seharusnya merasa cukup hanya dengan puasa semata. Tetapi harus juga ikut meningkatkan aktivitas keilmuannya. Nah, di sini orang tua bisa sekaligus mengajak anak-anak. Misalnya dengan mengajak anak tekun mengikuti taushiyah di masjid, entah itu usai tarawih maupun usai sholat Shubuh.
Apalagi, saat ini umumnya sekolah-sekolah memberikan buku laporan untuk anak selama libur dalam mengisi kegiatan Ramadhan yang mesti diisi oleh setiap anak. Jadi, orang tua bisa membantu anak-anak untuk mengisi buku tersebut secara jujur.

Doa
Terakhir, langkah penting yang tidak boleh terlupakan adalah doa. Sebab bagaimanapun hidayah adalah hak Allah, sebagai orang tua kita berkewajiban mendoakan anak-anak kita. Semoga dengan ikhtiar yang dilakukan selama Ramadhan ini benar-benar memberikan dampak yang serius bagi perkembangan iman dan takwa anak-anak kita.

Orang tua tidak boleh merasa cukup dengan upaya dan metode yang dilakukan dalam mendidik anak, meskipun mungkin sudah diberikan keteladanan. Harus terus dipertajam dengan doa. Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim tidak berhenti berdoa agar anak-anaknya menjadi orang yang takwa dengan tidak pernah meninggalkan sholat.

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku” (QS. Ibrahim [14]: 40).

Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa maksud dari doa tersebut adalah agar Allah memberikan kekuatan kepada anak keturunan Nabi Ibrahim selalu menjaga sholat dengan segenap ketentuan syariat-Nya.

Jika sekelas Nabi Ibrahim yang sudah sedemikian rupa mendidik anak-anaknya dengan kekuatan keteladanan luar biasa, lantas bagaimana mungkin kita yang sekarang ini tidak juga memaksimalkan doa untuk keimanan dan ketakwaan anak kita?

Dengan beberapa langkah praktis di atas, jika dilakukan secara sungguh-sungguh, insya Allah akan ada jalan yang Allah bukakan kepada kita untuk anak-anak kita menjadi anak-anak yang beriman dan bertakwa. Jadi, mumpung Ramadhan, mari kita upayakan dengan penuh kesungguhan.


*) Imam Nawawi, Penulis di www.hidayatullah.com dan rubrik Hikmah Harian Umum Republika. Pimred Majalah Mulia. Twitter : @abuilmia
Powered by Blogger.
close