Sekolah Berasrama untuk Anak Kita
Pesantren Putri Ar-Rohmah, Hidayatullah Malang |
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Jam 05.46 waktu Watford, Inggris. Agak mengantuk karena panjangnya siang
saat musim panas. Maghrib jam 21.30, Subuh jam 02.20. Terbayang panjangnya
waktu berpuasa di bulan Ramadhan nanti, meski saya tak berpuasa di sini. Ingin
berbaring sejenak, tapi merasa aneh jika habis Subuh tidur lagi sebagaimana
yang umumnya dilakukan muslimin Inggris khusus di musim panas. Tapi hari memang
masih sepi.
Membuka-buka buku, juga booklet Eton College (sebuah
sekolah menengah terkemuka di Inggris), diam-diam saya teringat anak perempuan
saya yang sedang belajar di Ar-Rohmah Putri, Malang. Sebenarnya saya lebih suka
jika anak perempuan belajar di tempat yang tak terlalu jauh dari rumah.
Kalaulah harus boarding, tetap yang dekat rumah. Tetapi sebagai orangtua, saya
harus jernih mempertimbangkan alasan mengapa harus menyekolahkan anak. Rasa
rindu kepada anak itu memang kadang terasa berat, terlebih anak pertama, tetapi
ada yang lebih mendasar untuk saya pertimbangkan, yakni bagaimana anak
memperoleh lingkungan dimana adab dibangun, ilmu disemai dan kebiasaan
beribadah ditumbuhkan. Kadang saya bahkan menyengaja untuk tidak menengok anak
saya di hari ketika ia boleh ditengok. Bukan soal biaya, bukan juga soal
kesempatan meskipun kadang memang berbenturan dengan berbagai jadwal yang telah
saya sepakati jauh-jauh hari sebelumnya sebagaimana juga pengambilan raport
untuk kenaikan kelas yang ternyata harus berbenturan dengan acara saya di
Inggris. Saya adakalanya harus menahan diri dari menengok anak agar ia lebih
tertempa, mampu berempati kepada orang lain (dalam lingkup kecil adalah
rekan-rekan sekolahnya) dan belajar mengelola keinginan. Ini tampak sepele.
Tetapi kerapkali hal-hal semacam inilah yang sangat berpengaruh terhadap diri
seseorang kelak di kemudian hari.
Anak saya yang kedua maupun ketiga juga belajar di kota lain. Adiknya yang
sekarang kelas 6 SD, insya Allah juga akan masuk sekolah berasrama di luar
Yogya juga. Dan ini berarti rumah akan sepi. Tetapi inilah pilihan yang harus
diambil. Inilah ongkos yang harus dibayar; rela kehilangan kesempatan untuk
membersamai mereka, meski sekedar melepas mereka tentu saja tidak cukup.
Bincang tentang sekolah berasrama, saya jadi teringat dengan Eton
College di Windsor, Inggris. Ini bukan untuk membandingkan. Saya
bincang sekilas tentang Eton College hanya karena saya sedang berada di Inggris
yang kerap disebut maju pendidikannya, sekaligus menepis keraguan para orangtua
bahwa sekolah berasrama menjadikan anak secara psikis dapat bermasalah karena
kurang kesempatan bersama orangtua. Eton College merupakan sekolah berasrama
yang sangat legendaris di Inggris. Banyak tokoh Inggris, termasuk perdana
menteri Inggris, 18 di antaranya alumni Eton. Di sekolah menengah ini (jenjang
SLTP-SLTA dan persiapan masuk perguruan tinggi), siswanya hanya laki-laki. Saya
tak membahas Eton College terlalu jauh. Saya hanya ingin menegaskan, meskipun
untuk berpendapat tak perlu menunggu contoh dari negeri seberang, pemisahan
laki-laki dan perempuan bukanlah kemunduran atau cara berpikir kolot. Bahkan andai
1000 profesor mengatakan kolot sekalipun, sejauh itu memang bersesuaian dengan
tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka yang harus kita ambil adalah tuntunan
yang tidak ada keraguan di dalamnya dari dienul haq ini.
Tulisan ini ditulis saat Mohammad Fauzil Adhim Road Show di negara Inggris.
*) Mohammad Fauzil
Adhim, Penulis Buku-buku Parenting.
Follow Twitter Mohammad Fauzil Adhim @kupinang
Like Fans Page facebook : Mohammad Fauzil Adhim
Post a Comment