Warnai Hidup Mereka
doc/thorif |
Oleh Marlika Elsya Pratama, SHI
Suatu siang, adik sepupu saya bercerita bahwa teman
sekelasnya di sekolah sedang merayakan ulang tahun yang ke- 10. Ia bercerita
kepada adik kandung saya yang tepat berbeda usia setahun dengannya. “Dek, tadi
di sekolah temanku ultah. Seru. Dapat makanan enak. Kue tart gede, ada juga
mama dan kakak perempuannya yang cantik datang ke Sekolah. Nanti aku mau Ultah
ke CFC atau Saimen. Jalan ke mall.” Saya tertegun mendengarnya. Fenomena
kehidupan glamor telah lama tanpa disadari akrab dengan dunia anak-anak.
Berbagai macam produk dan perusahaan hiburan, mainan, makanan, dan pusat-pusat
perbelanjaan berlomba menjajakan item yang berhubungan dengan dunia anak-anak
serba lengkap. Bahkan bisa di akses dengan mudah melalui jejaring internet.
Di lain kesempatan, teman saya bercerita tentang
majikannya dalam mengasuh anak. Kebetulan majikannya ini tergolong orang sibuk.
Suaminya bekerja di Pemda Provinsi sementara dia sendiri adalah seorang Bidan
dengan jam kerja dari pagi sampai petang hari. Anak-anak mereka yang semuanya
laki-laki setelah pulang sekolah hanya bermain di
rumah, makan, dan bermain dengan dijaga oleh
pengasuh. Kemudian, pada Hari Minggu baru Ia bisa menyediakan waktu khusus
untuk anak-anaknya. Ke mana? Ke
mall, sekalian belanja kebutuhan sehari-hari.
Anak-anakpun merasa
puas dan sangat senang.
Mungkin ada banyak lagi cerita bagi mereka-mereka yang ingin menyenangkan anak
atau membuat anak menjadi ‘diam’ adalah dengan membawanya ke pusat hiburan atau
mall. Terlebih jika dirasa kantong cukup. Tanpa disadari hal ini akan menjadi
pembiasaan gaya hidup bagi anak. Anak pada akhirnya akan hanya terbiasa dengan
lingkungan serba instan, glamor, dan serba otomatis. Sehingga, mereka tidak
mengenal bagaimana luasnya segi-segi kehidupan, petualangan, dan hal-hal apa
saja yang harus dipelajari oleh mereka sejak dini. Waktu mereka hanya habis di
sekolah dan les.
Mari sejenak mengingat dunia kecil kita. Permainan benteng,
gobak sodor, petak umpet, karet gelang, kucingan, marathon pagi bersama.
Bandingkan dengan anak-anak sekarang yang tidak lepas dari BB, Android, dunia
maya, lagu-lagu yang belum seharusnya didengar. Sementara dunia pendidikan
semakin terkesan menekan anak untuk berdaya saing tinggi. Tidakkah justru kita
mengambil sebagian waktu dari dunia mereka? Mereka hanya mengenal dunia bermain hanyalah
di arena bermain mewah yang hampir semuanya
mengekor dari luar. Permainan dan aneka hiburan anak tempo silam sudah mulai
ditinggalkan.
Masa usia emas anak-anak adalah antara usia 6 – 8 tahun
atau memasuki usia sekolah dasar. Saat itulah sebenarnya kesempatan emas untuk
kita mengeksplor daya berpikir dan kreativitas anak melalui
berbagai kegiatan yang menyenangkan. Moment tiap Minggu dapat kita planning dengan berbagai
aktivitas yang sarat petualangan dan tentunya menarik bagi anak-anak seperti berkebun, membersihkan pekarangan rumah,
memancing, berenang, bersepeda, jalan santai atau memasak bersama. Hal itu
tentunya akan memberikan pengalaman baru bagi anak-anak dalam perkembangan saraf motorik dan kognitifnya. Di samping itu juga dapat meminimalisir pengeluaran atau
bahkan tanpa harus merogoh kocek. Misalnya dengan mendeskripsikan hari
kelahiran si anak tidak harus dengan berpesta meriah. Tetapi, cukup mengadakan fun cooking dengan menu sehat bersama
keluarga. Memancing ikan dan mengadakan acara bakar ikan bersama, berkebun di
pekarangan dan memasak hasil tanaman sendiri. Semuanya dilakukan dengan
melibatkan anak-anak. Walhasil, akan memberikan energi dan semangat baru bagi
anak-anak. Apalagi jika dibarengi dengan kegiatan berdoa dan beribadah
berjamaah di rumah pada hari jadinya.
Anak-anak yang mampu memaknai segala sesuatu yang
mereka alami dengan penuh keikhlasan dan rasa syukur atas nikmat Allah. Kita
juga tentunya tidak mengharapkan anak-anak yang mengekor budaya lain dan hanyut
dengan kebergemerlapan zaman. Kemudian kita pun bersiap siaga untuk tidak
‘merenggut’ paksa dunia mereka dengan memberikan sesuatu kebersamaan yang
bernilai dalam setiap aktivitas yang menyenangkan.
*) Marlika Elsya Pratama, SHI, Guru di SDIT Al Khasanah Bengkulu
Post a Comment