Menebar Semangat “Hijrah”
doc/fahma |
Oleh Umi Faizah
Dari Abdullah bin Amru
bin Ash ra, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seorang muslim adalah orang yang menjadikan
muslim lainnya merasa selamat dari lisan dan tangan (perbuatannya). Sedangkan
muhajir (orang yang hijrah) adalah orang yang meninggalkan segala yang dilarang
Allah Ta’ala. (Muttafaqun Alaih).
Semangat perubahan menjadi lebih baik, semestinya
menjadi agenda harian bagi setiap muslim, demikian juga pada moment pergantian tahun baru hijriyah. Dalam
konteks sekarang ini, pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan
meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan
kaum muhajirin. Pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat
berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah
berhenti. Dalam menyongsong tahun baru
hijriyah 1434 ini, ada banyak celah yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana
edukasi bagi anak.
Berbagai aktivitas yang diselenggarakan dalam menyongsong tahun baru hijriyah berkembang
dengan luas di berbagai belahan dunia, satu hal yang semestinya menjadi
semangat hijrah adalah semangat berubah menjadi lebih baik. Seperti halnya
dengan teori Kaizen yang diadopsi dari bahasa Jepang. Kai
artinya perubahan dan zen artinya baik. Di Cina kaizen bernama gaishan. Gai
berarti perubahan/perbaikan dan shan berarti baik/benefit.
Dengan filosofi Kaizen, Jepang
menjadi salah satu negara yang diperhitungkan, baik karakter maupun berbagai
skill masyarakatnya. Demikian halnya China dengan filosofi gaishan. Bagaimana
dengan posisi kita, umat Islam yang sudah memiliki warisan filosofi yang luar
biasa, jauh sebelum teori Kaizen dan Gaishan lahir? Mari kita coba
merefleksikan gagasan penelusuran menuju semangat hijrah yang sesungguhnya.
Islam sangat memperhatikan
pergantian waktu, bahkan Allah Ta’ala bersumpah
dalam Alquran dengan menggunakan waktu/masa, sebagaimana tercantum dalam surat
103, al Ashr ayat 1: “wal ‘asri” (Demi
masa). Dalam lanjutan ayat tersebut juga difirmankan bahwa sesungguhnya manusia
berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran. Hal ini
menggambarkan bahwa betapa pentingnya arti sebuah waktu/masa dan betapa
pentingnya perhatian seseorang akan keberadaan dirinya, adakah ia masih berada
dalam kerugian, sudahkah ia menuju perubahan yang lebih baik, yakni menjadi
orang yang beriman dan beramal kebajikan serta saling menasehati dalam kebaikan
dan kesabaran.
Kita mulai semangat “hijrah”
dari diri sendiri, dalam lingkungan keluarga dan diperluas pada masyarakat dan
lembaga pendidikan kita. Sebuah gagasan yang mungkin bisa dilakukan di setiap
lembaga pendidikan, antara lain: Pertama,
seremonial 1 Muharam. Hal ini tetap penting untuk dilakukan dengan harapan ghirah/semangat hijrah menjadi bagian
yang dipahami oleh setiap peserta didik. Kedua,
mengadakan berbagai lomba persahabatan, dengan semangat ”fastabiqul khairat” atau berlomba-lomba dalam kebaikan. Lomba
yang diselenggarakan dapat dipilih yang memiliki nilai-nilai keagamaan,
misalnya: lomba CCA (Cerdas Cermat Agama), lomba pidato, lomba adzan, shalat
berjamaah, qira’ah dan nasyid, serta berbagai lomba lainnya. Ketiga, penyelenggaraan bakti sosial
kepada anak yatim, baik dengan cara mengunjungi serta memberi santunan pada
anak yatim di panti asuhan, maupun dengan cara pemberian santunan anak yatim
pada masyarakat terdekat dengan lembaga atau yang ada di lembaganya
masing-masing. Keempat, terus lakukan
perubahan menjadi lebih baik. Semoga dengan spirit hijrah selalu menuju
kualitas yang lebih baik.
*) Umi Faizah, M.Pd,, Ketua STPI Bina Insan Mulia Yogyakarta
Post a Comment