Mengajarkan Anak Berjiwa Besar
doc/fahma |
Oleh Muhammad Aburrahman
Bermain
merupakan salah satu kebutuhan krusial bagi anak. Banyak keuntungan yang
didapat seorang anak dengan bermain. Dengan bermain misalnya, akan membantu
perkembangan motorik dan kemampuan kinestetik anak.merupakan sarana anak untuk
melepas energi berlebih yang ada di dalam dirinya. Tidak hanya itu, bermain
juga bisa digunakan sebagai sarana eksplorasi dan kompetisi dengan
teman-temannya. Banyak permainan anak yang bersifat kompetisi, artinya anak
berjuang untuk menjadi pemenang dengan mengalahkan teman sepermainannya,
misalnya permainan sepakbola, kasti, kelereng, dan lain-lain.
Ketika anak
menang, tentu rasa senang dan bahagia akan menyelimuti hatinya. Meski tidak ada
hadiah yang diberikan atas hasil perjuangannya tersebut. Sebaliknya, anak yang
kalah mungkin akan merasa kecewa dan sedih. Anak yang terlatih berjiwa besar,
tentu akan menerima kekalahannya dan mengakui kemenangan temannya. Akan tetapi,
jika sang anak tidak terlatih untuk mau menerima kekalahan, boleh jadi dia akan
menuduh temannya curang. Ujungnya bisa terjadi pertengkaran, bahkan
perkelahian. Bahkan acapkali terjadi pula orangtua turun tangan dalam
pertengkaran tersebut. Na’udzubillah.
Tentu tidak ada
orangtua yang menginginkan anaknya menjadi orang yang kalah. Akan tetapi, tidak
mungkin seorang anak akan menjadi seseorang yang tidak pernah kalah. Juara
olimpiade sekalipun pasti pernah kalah dalam kompetisi yang diikutinya. Jika
orientasi kita adalah selalu menang, maka jangan salahkan anak jika dia akan menghalalkan segala cara
untuk memperoleh apa yang diinginkannya kelak. Oleh sebab itu, belajar untuk
kalah, secara harfiah, menerima kekalahan, dan kemudian bangkit kembali adalah
kunci penting kebahagiaan.
Mengajarkan anak menerima kekalahan bisa
dilakukan sejak anak usia dini. Untuk anak usia prasekolah, orangtua dapat memberikan contoh berulang kali
untuk menerima kekalahan dengan baik. Misalnya saat kita sedang bermain bersama
anak, ada baiknya kita mengatakan, “Aduh, Ayah kalah lagi, deh.
Tapi senang, ya. Main lagi, yuk!” Perkataan ini akan menunjukkan
bahwa kalah adalah hal yang biasa. Meski demikian, tidak ada salahnya sementara
membiarkan anak usia prasekolah untuk sering menang, akan tetapi perlahan ia
harus belajar untuk kalah.
Ketika orangtua menang, katakan padanya, “Kali ini
Ibu yang menang, tapi tadi kamu hebat, kok Nak,” Jika si kecil merajuk, jelaskan padanya bahwa tidak ada
orang yang ingin kalah, tetapi kekalahan adalah bagian dari permainan. Orang
yang benar-benar kalah adalah orang yang tidak berusaha bermain dengan baik. Sejak
usia lima tahun, anak tidak boleh selalu memenangkan setiap permainan, dan harus
mulai belajar mengalami kekalahan. Walaupun akibatnya ia akan mengamuk karena
tidak mau menerima kekalahan.
Sedangkan pada anak yang sudah menginjak usia 8
tahun, kebanyakan dari mereka sudah cenderung bisa menerima kekalahan dengan
tenang. Pada periode ini, orangtua harus menekankan penilaian pada seberapa
keras usaha anak, bukan pada hasil akhir. Merajuk dan kecewa ketika kalah
karena terlalu fokus pada hasil akhir sebuah proses, yaitu menang, membuat
hal-hal menyenangkan yang terjadi dalam prosesnya luput dari perhatian mereka.
Misalnya jika anak kalah saat bermain sepakbola,
katakan,”Nggak apa-apa kok, kamu tidak menang”, “Gimana tadi
mainnya?”, “Kamu senang nggak bermain
dengan teman-teman?” dan sebagainya. Perkataan ini akan lebih diterima di
hati anak karena dia akan merasa orangtua memahami kekecewaannya, daripada
perkataan, “Sudahlah, begitu aja menangis, kayak anak kecil!” Semoga kita mampu
mendidik anak-anak kita menjadi sosok yang berjiwa besar dan mau menerima
kekalahan. Amin.
*) Muhammad Aburrahman, Pemerhati dunia anak, tinggal di Yogya
Post a Comment