Menjaga Keikhlasan Guru

doc/fahma
Oleh Slamet Waltoyo

Untuk menjadi sekolah berkualitas, ada tujuh komponen yang harus dijaga kualitasnya, yaitu: (1) kualitas siswa dengan kegiatan kesiswaannya, (2) kualitas kurikulum dengan proses pembelajarannya, (3) kualitas pendidik dan pengembangan kependidikannya,  (4) kualitas sarana dan prasarananya, (5) kualitas keuangan dan pembiayaannya, (6) kualitas budaya dan lingkungan sekolahnya, dan (7) kualitas peran serta masyarakat  dan kemitraannya.

Ketujuh komponen tersebut harus dijaga dan ditingkatkan kualitasnya. Siapa yang paling berperan dalam hal menjaga kualitas? Adalah salah satu komponen di dalamnya, yaitu pendidik. Artinya, pendidik memiliki peran ganda dalam menjaga kualitas sekolah. Satu sisi ia adalah salah satu komponen yang harus berkualitas. Sisi lain, ia adalah satu-satunya komponen yang mampu mengawal kualitas 7 komponen lainnya. Maka dapat dikatakan bahwa pendidik adalah komponen yang paling penting dalam menjadikan sekolah berkualitas.

Bisa dikatakan kualitas pendidik atau guru adalah kunci kualitas sekolah, maka  guru haruslah orang yang mampu menjalankan peran sebagai kunci. Dunia pendidikan mensyaratkan ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi pedagogig, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi profesional. Untuk bisa berperan sebagai kunci, disyaratkan guru harus memiliki integritas. Yang mungkin syarat ini bisa melekat pada kompetensi kepribadian dan sosial. Syarat integritas hanya akan dimiliki oleh orang yang memiliki ghirah (semangat/motivasi) dan ikhlas sebagai pendidik.

Lembaga (dalam hal ini yayasan, organisasi, atau kementerian) yang berkepentingan untuk menjadikan sekolahnya selalu meningkat kualitasnya, maka ia berkepentingan menciptakan dan menjaga ghiroh dan keikhlasan para gurunya. Lembaga harus mengupayakan adanya sistem yang mampu menopang para guru agar tetap selalu berada dalam kondisi ghirah dan ikhlas. Guru dalam kondisi ini umumnya akan merasa  tabu kalau berbicara tentang kompensasi materi dan pelayanan pribadi atas pekerjaannya (amal shalihnya). Maka lembagalah yang harus memahaminya. Memahami guru sebagai pribadi, sebagai bagian dari keluarga, sebagai bagian dari masyarakat.

Sistem penopang yang dimaksud adalah sistem yang mampu menciptakan kemudian menjaga ghirah dan ikhlas para guru. Sistem ini menopang kebutuhan para guru yang meliputi kebutuhan fisik (jasadiyah), kebutuhan mental (ruhiyah), kebutuhan pengembangan ilmu dan keterampilan, serta kebutuhan pengharapan (karir). Jangan salah sangka (su’uzhon) dulu bahwa sistem ini adalah lubang pemborosan. Jika sistemnya dikelola dengan baik maka justru menjadi penyumbat lubang pemborosan.

Inti dari sistem penopang ini adalah pelayanan dan perhatian. Pelayanan dan perhatian tidak selalu dalam bentuk materi. Tetapi materi merupakan sarana penting untuk memberikan pelayanan dan memberikan perhatian. Sistem yang mampu memberikan pelayanan dan perhatian yang utuh tentang sisi jasadiyah, ruhiyah, aqliyah dan masa depan para guru. Sistem yang mampu memberikan pelayanan dan perhatian pada sisi lain kehidupan guru sebagai pribadi, anggota keluarga, dan anggota masyarakat. Ketika seorang guru sukses berperan di sekolah, jangan lupakan bahwa kesuksesan itu juga karena dukungan atau peran sukses dari istri/suami, anak, atau tetangga yang tidak tampil di sekolah. Sistem penopang ini termasuk harus memberikan perhatian kepada apa yang ada di balik layar para guru.

Hidupnya sistem inilah yang membuat saya dengan bangga pernah mengatakan kepada salah seorang pejabat pendidikan dalam kesimpulan sebuah pembicaraan; “Gaji guru-guru kami setengah dari gaji guru-guru Anda, tetapi kinerja guru-guru kami dua kali lipat kinerja guru-guru Anda”.

*) Slamet Waltoyo, Kepala MI Al Kautsar, Sleman



Powered by Blogger.
close