Adab Utama dalam Menuntut Ilmu
doc/fahma |
Oleh Irwan Nuryana Kurniawan
Syaik Muhammad
bin Shalih al Utsaimain dalam Syarh
Hilyah Thaalibil ‘Ilmi (2005) menegaskan adab yang paling pokok dan harus
tertanam secara kokoh dalam diri setiap pelajar ketika menuntut ilmu adalah
mereka harus meyakini bahwa ilmu adalah ibadah, ibadah yang paling agung dan
paling utama. Allah Ta’ala menjadikan
kegiatan memperdalam pengetahuan agama sebagai bagian dari berjihad di jalan
Allah Ta’ala (QS At Taubah (9):122).
Kepahaman seseorang
atau sekelompok orang dalam perkara agama—Syaikh Utsaimin menjelaskannya
sebagai meliputi segenap ilmu syar’i, baik ilmu tauhid, aqidah, atau lainnya—ditegaskan
oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi
wa sallam dalam hadits shahih riwayat al Bukhari (71) dan riwayat Muslim
(1037) merupakan pertanda bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi diri mereka.
Kegiatan
memperdalam ilmu pengetahuan menjadi bernilai ibadah ketika dilandaskan pada
niat yang ikhlas hanya karena Allah Ta’ala
(QS Al Bayyinah (98):5 dan hadits shahih al Bukhari (1). Sebaliknya, kegiatan
memperdalam ilmu bisa berubah dari ibadah yang paling mulia menjadi kemaksiatan
yang paling hina, menurut Syaikh Abu Bakar Abu Zaid apabila tidak dilandasi
dengan keikhlasan niat. Keinginan mendapatkan pujian, atau dikenal sebagai riya’, baik riya’ yang menjerumuskan pada kesyirikan atau riya’ yang menghilangkan keikhlasan, dan membanggakan-banggakan
diri, atau dikenal sebagai sum’ah seperti
“Aku tahu…Aku hafal…,” merupakan
contoh yang paling bisa menghancurkan nilai ibadah dari kegiatanan memperdalam
ilmu.
Syaikh Utsaimin
menjelaskan bahwa untuk membangun keikhlasan dalam pribadi setiap siswa dalam
menuntut ilmu, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan. Pertama, menanamkan
keyakinan dalam diri setiap siswa bahwa menuntut ilmu itu berarti menjalankan
perintah Allah Ta’ala (QS Muhammad
(47):19). Meyakini bahwa menuntut ilmu itu perbuatan yang dianjurkan, dicintai,
dan diridhai-Nya. Kedua, menanamkan keyakinan dalam diri setiap siswa bahwa
menuntut ilmu itu berarti menjaga syariat Allah. Dengan belajar, baik melalui menghafal,
menulis, maupun mempraktekkan, setiap siswa secara bertahap insyaallah dapat
diharapkan memiliki kefahaman perkara agama yang mendalam dan benar, termasuk untuk
tujuan menjaga tegaknya syariat Allah Ta’ala.
Ketiga, menanamkan keyakinan dalam diri setiap siswa bahwa menuntut ilmu itu
berarti membela syari’at Allah Ta’ala.
Ketika mereka menjadi orang atau sekelompok orang yang memiliki kefahaman
mendalam dalam perkara agama, maka insya Allah mereka akan membela kebenaran
syariat, termasuk membantah sekaligus menjelaskan jika mendapati kesesatan dari
syariat Allah Ta’ala. Keempat,
menanamkan keyakinan dalam diri setiap siswa bahwa menuntut ilmu itu berarti
mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi
wa sallam. Tidak mungkin mereka bisa mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam kecuali
jika mereka sudah mengetahuinya terlebih dahulu.
Maka, senantiasa
membiasakan setiap siswa untuk menjaga niat menuntut ilmu ikhlas karena Allah Ta’ala menjadi sanngat penting untuk
dilakukan oleh dan menjadi bagian dari kurikulum pendidikan. Begitu juga dengan
mengingatkan mereka akan segala hal yang dapat merusak keikhlasan mereka dalam
menuntut ilmu seperti senang popularitas, ingin unggul disbanding teman
sebayanya atau menjadikannya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu
seperti pangkat, jabatan, kekayaan, kehormatan, popularitas, pujian, dan
kekaguman orang lain kepadanya. Semua hal tersebut, menurut Syaikh Abu Bakar
Abu Zaid, dapat merusak dan melenyapkan keberkahan ilmu. ||
*) Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia
Post a Comment